Catatan Ramlo R. Hutabarat : Berkampanye di Media Sosial

Tak ada masa tenang kampanye di media sosial. Jadi, kalau Anda mau berkampanye sampai kapan pun di media sosial dipersilahkan saja. Jangan kuatir, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak sampai ke ranah media sosial melakukan pengawasan.


"Ya karena sejak awal kita tidak memebangun sistem di media sosial, tidak masuk kesana", jelas Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron saat dikonfimasi Detikcom (7/4/2014)

Jadi apa pun yang terjadi di media sosial seperti twitter dimana calon saling serang dan saling hujat Bawaslu tak ikut campur. "Itu wilayah sendiri media sosial", terang Daniel.

Yang patut dicatat, soal kata-kata saling serang dan saling hujat, di media sosial akan diarahkan ke Undang-undang ITE. Jadi, lanjut Daniel, diingatkan juga agar tak asal menyerang kandidat lain. Apalagi saat ini di twitter  tengah trending topic tema soal Jokowi tidak layak.

"Laporkan saja ke penagak hukum, bisa pencemaran baik atau pelanggaran UU ITE", tutup dia.

Media Baru

Semua kalimat itu saya kutip dari Detikcom yang ditulis wartawannya Taufan Noor Ismailian. Saya menjadi tertarik untuk mengutipnya, bukan karena materi  berita yang ditulisnya, tapi justru karena pernyataan komisioner KPU Daniel Zuchron, di masa tenang kampanye, hanya media sosial yang tak tersentuh. Artinya silahkan saja, sebab Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan hingga ke ranah media sosial.  Artinya pula, ini sekaligus merupakan kabar gembira untuk kita semua, sebab dengan pernyataan ini sampai sekarang pun kita masih bebas untuk berkampanye dengan cara kita masing-masing. Cuma memang penting dicatat, persoalan yang barangkali muncul akan (bisa) dijerat dengan Undang-undang ITE.

Lantas sekarang muncul pertanyaan, apa saja sih media sosial ?

Prof Dr Bagir Manan SH MCL dalam bukunya Politik Publik Pers  (Dewan Pers, Cetakan Pertama November 2012) mengatakan  media sosial sebagai sebuah media baru (new media) sebagai media publik di luar media cetak, televisi dan radio. Ada macam-macam sebutan atau jenis media baru ini seperti media warga, media online, media siber, termasuk facebook, twitter, blog, youtube, milis. Di masa depan menurut bagir Manan, hampir dapat ddipastikan akan ada berbagai nama atau jenis lainny.  Sementara detikcom atau vivanews misalnya  sebagai siber (cyber media)

Masih menurut Bagir Manan, salah satu ciri paling khas dari media baru ini ialah dapat dijalankan oleh setiap orang dari setiap tempat dan waktu. Artinya, seseorang dapat menjalankan media baru dimana dan kapan saja ada kesempatan. Demikian juga respons terhadap berita dalam media baru dapat dilakukan oleh setiap orang, dimana saja dan kapan pun juga. Makanya, dalam media baru ini acap kali terjadi saling serang dan saling kecam bahkan sampai memaki-maki segala. Saya sendiri yang menjalankan sebuah jenis media baru (facebook dan blog), sering dihujat, diserang, bahkan dimaki oleh siapa saja dan dimana saja. Untung sajalah memang saya sudah siap untuk itu semua, sehingga makian atau hujatan apa pun yang dialamatkan kepada saya selalu saya respons dengan tertawa-tawa dalam hati saja.

Yang pasti memang, media sosial sebagai media baru memang memiliki manfaat yang sangat besar di tengah kalangan masyarakat kita. Meski pun memang, apalagi pemerintah sebenarnya bisa menampung segala macam uneg-uneg dari rakyatnya meski berasal dari media sosial ini. Sayangnya, para pemimpin kita dalam menjalankan kekuasaannya sampai sekarang masih mengabaikan peran media sosial ini. Mauliate Simorangkir misalnya pada hari-hari pertamanya menjadi Wakil Bupati Tapanuli Utara, masih menggunakan media sosial ini sebagai bahagian dari kesehariannya. Sayangnya, belakangan dia pun malah terkesan menghindar dari media sosial ini, dan asyik masygul seperti kebanyakan penguasa di negeri ini.

Kalau mau dicermati, media sosial dapat bermanfaat antara lain karena kecepatan informasinya. Informasi dapat disebarkan dengan cepat sekali, dalam hitungan menit, bahkan detik sudah dapat sampai kepada publik. Misalnya saat saya dan teman-teman mengikuti Sosialisasi Pengawasan Pilpres di Hotel Sing A Song Senin pagi tadi, foto-fotonya sudah sampai kepada publik cuma dalam hitungan detik seperti yang barangkali Anda lihat. Termasuk, kalau media tradisional seperti surat kabar, radio dan televisi memiliki keterbatasan soal daya jangkau, tapi media sosial justru tidak memiliki batas ruang dan waktu. Postingan yang terdapat dalam media sosial bisa dengan cepat sekali sampai ke seluruh muka bumi.

Menjalankan  media sosial juga merupakan sesuatu yang amat mengasyikkan. Saya sendiri yang puluhan tahun bekerja di media tradisional (surat kabar), belakangan malah memilih media sosial sebagai lahan pengabdian atau pelayanan saya dalam kehidupan saya. Dengan media sosial yang saya jalankan, saya bebas sekali untuk menyampaikan apa saja yang ada dalam hati dan pikiran saya. Saya lakukan semua itu dengan selera bahkan sesuka hati saya. Sehingga, apa yang saya tulis sudah pasti saya sukai, padahal waktu dulu secara penuh saya bekerja di perusahaan media tradisional, belum tentu apa yang saya tulis memang menyenangkan hati saya. Acap kali bahkan, saya menulis untuk (sekadar) menyenangkan hati toke atau my big boss belaka.

Sudah barang tentu tidak ada yang salah dalam hal ini. Kita memang harus memaklumi, dalam sebuah media tradisonal ada berbagai hal yang harus diikuti serta dipatuhi. Misalnya, syarat-syarat hukum dan etik jurnalistik. Termasuk, meski pun secara kelembagaan pers atau media bukanlah lembaga pendidikan, tetapi mempunyai fungsi pendidikan. Dan memang, pendidikan oleh pers hanyalah out put tidak langsung akibat isi berita.

Keasyikan khas ketika menjalankan media sosial,  juga termasuk karena dapat dijalankan dari tempat dan waktu yang tidak terbatas. Juga, dapat dikelola secara individual serta informal. Tidak ada aturan ini itu yang mengikat, bebas sebebas-bebasnya bagai burung terbang di udara atau ikan berenang di air. Biar bagaimana pun sadisnya rezim yang berkuasa, tapi lewat media sosial semua bisa ditulis sekaligus dipublikasi kemana-mana dan siapa saja orang bisa membacanya. Boleh jadi bisa rezim yang berkuasa menutup semua akses terhadap media tradisioanal, tapi media sosial sama sekali tidak akan bisa diatur bahkan pun tak bisa dibendung.

Selain itu, media sosial benar-benar bebas tanpa diikat oleh etika jurnalistik, tidak ada tokenya atau pimpinan, atasan atau orang-orang yang berlagak bos. Seperti kata Bagir Manan, media sosial adalah media yang dapat dijalankan oleh setiap orang (citezen media, citezen  journalism, sebagai sarana aktualialisasi dan membentuk pendapat umum dengan sangat cepat. Termasuk, sebagai sarana cepat untuk membangkitkan perubahan. Apalagi, peenyelenggaraan media sosial jauh lebih murah dibandingkan dengan media tradisional, sehingga dapat diselenggarakan secara luas dan tidak membutuhkan modal besar dan cara-cara pemasaran yang rumit.

Tapi meski pun begitu, selain bermanfaat besar memang media sosial juga membawa persoalan-persoalan baru yang bersifat jurnalistik.  Apabila aktifitas media sosial merupakan suatu aktifits jurnalistik, sudah semestinya terikat pada kode etik dan hukum jurnalistik. Kecepatan serta kebebasan media baru dapat mendorong penyelenggaraannya dengan sengaja mengenyampingkan atau lala memperhatikan kode etik dan kaidah hukum jurnalistik. Misalnya seperti keharusan ada verifikasi, chek and rechek dan lain-lain yang berkiatan dengan suatu berita atau informasi.

Para pengguna media sosial berkesempatan menggunakan media sosial secara bebas merasa tidak terikat dengan asas dan kaidah jurnalistik. Akibatnya, mereka dapat memasukkan pendapat atau komentar yang bukan saja melanggar kode etik tetapi juga melanggar hukum atau norma-norma sosial seperti sopan santun, kesusilaan, bahkan norma agama. Hal semacam ini dapat menimbulkan persoalan sosial bukan saja dalam arena media tetapi di tengah masyarakat eperti kemarahan sosial.

Yang menjadi soal lainnya, karena tidak adanya kualifikasi penyelenggara sekaligus pengguna media sosial ini , menyebabkan seringkali mutu dan kualitas pemberitaan atau tulisan sangat rendah bahkan menyesatkan. Apalagi, hampir tidak mungkin  ada sistem pelembagaan dan mekanisme pengawasan atau pengendalian. Sementara kemungkinan penyalahgunaan media sosial lebih bear dan terbuka dibanding dengan media tradisional. Peneyalahgunaan ini terutama dilakukan oleh para pengguna sendiri. Sedangkan kebebasan yang hampir tidak punya batas yang begitu luas sangat rawan terhadap pelanggaran  etik, bahkan dapat digunakan untuk perbuatan melawan hukum (kejahatan yang dapat dipidana)

Berdasarkan hal itulah memang agaknya ke depan perlu juga dipertimbangkan untuk menyatakan media sosial adalah suatu bentuk kegiatan jurnalistik yang tunduk pada kode etik jurnalistik, ketentuan-ketentuan hukum pers, serta Undang-undang Pers dan berbagai perturan atau pedoman yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Dengan demikian, pemberitaan media sosial harus senantiasa memperhatikan dan memenuhi syarat etik jurnalistik, seperti verifikasi, keseimbangan dan lain-lain. Sehingga, dalam pemilu mendatang,  di masa tenang kampanye media sosial sudah tersentuh juga oleh Bawaslu, tidak semata oleh Undang-undang ITE semata.
________________________________________________________________________________________________________________
Siantar Estate, 7 Juli 2014
Ramlo R Hutabarat
________________________________________________________________________________________________________________
Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post