Lembaran Budaya : Mencermati Obrolan di Lapo Tuak

Mencermati Obrolan di Lapo Tuak
Oleh : Waldemar Simamora*)
Minggu, 1 Juni 2014 | 19:42:14
Lissoi… lissoi… lissoi… lissoi… O Parmitu… merupakan bait syair lagu khas yang sering dinyanyikan bersama di lapo tuak. Koleksi gabungan lagu-lagu lama dengan lagu-lagu pop Batak saat ini menjadi langganan yang kerap dilantunkan parmitu sambil mereguk tuak. Ada kalanya, mereka istirahat sejenak sambil mencicipi hidangan yang tersedia di atas meja berupa sangsang atau tanggotanggo yang dinamai "tambul" (baca : tabbul). Di lapo tuak juga tersedia papan catur selain gitar. Biasanya pemain catur mengambil posisi di meja lain, sehingga kedua aktivitas, bernyanyi dan main catur berlangsung dalam kurun waktu yang bersamaan. 

Lapo tuak atau lapo pada umumnya bagi komunitas orang Batak, baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah desa atau pelosok pedesaan, fungsinya kurang lebih sama yakni tempat berkumpulnya para orangtua, terutama kaum bapak dan juga anak-anak muda untuk melakukan berbagai aktivitas. Fungsi utama adalah sebagai media informasi dan komunikasi. Atau dengan kata lain, lapo juga menjadi partungkoan yang fungsinya lebih luas dibandingkan dengan terminologi partungkoan dalam konteks budaya. Partungkoan dalam pengertian budaya adalah tempat musyawarah tua-tua adat di zaman dahulu yang berlokasi di sekitar gerbang masuk kampung (huta). Partungkoan dalam konteks musyawarah bersifat formal, sedangkan lapo dalam terminologi partungkoan terkait pembicaraan adat bersifat non formal. Dengan kata lain, lapo berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi yang bersifat non konvensional.

Lapo selain tempat berkumpulnya komunitas parmitu, bagi warga lain juga menjadi ajang penyegaran untuk melepas lelah terutama warga petani yang bekerja seharian di sawah atau ladang. Artinya, sambil menikmati tuak juga ngobrol sesama kerabat atau sahabat, hal yang demikian termasuk dalam terminologi "paulak hosa loja". Di pihak lain, lapo juga berfungsi untuk berbagi informasi terkait konfirmasi rencana pelaksanaan upacara adat, gotong royong untuk memperbaiki irigasi, gotong royong memperbaiki jalan atau sumber air yang tersumbat akibat tanah longsor. 

Selain itu, juga mengulas berbagai topik faktual terkait politik, fenomena sosial, kritik sosial terhadap pelaksanaan upacara adat yang baru berlangsung dan lain sebagainya. Dengan begitu, penulis berpendirian bahwa keberadaan lapo tuak atau lapo bersifat positif, sehingga penulis amat tertarik dan memiliki keinginan untuk mengadakan penelitian dengan dukungan dari berbagai pihak, sehingga kelak fungsi lapo dapat dikembangkan menjadi ruang sosialisasi, penyuluhan, pembinaan, untuk kepentingan pembangunan dan kemasyarakatan. Namun demikian, ada sisi lain yang perlu diulas dalam konteks tulisan ini terkait obrolan di lapo tuak sebagai pencerahan untuk menyemangati berbagai topik yang menarik dan sekaligus menghindari hal negatif berubah ke arah perilaku positif. 

NONANG DI LAPO TUAK
Nonang adalah obrolan, mengobrol dalam bahasa Batak disebut marnonang. Setiap orang sejak kecil diajarkan berbicara bahkan ketika masih bayi, menangis mungkin dapat dikategorikan sebagai  bentuk kegiatan berbicara. Berbicara dalam konteks budaya, tidak hanya diajarkan dalam lingkungan keluarga, tetapi juga dalam konteks adat dan musyawarah untuk melatih kemampuan berbicara dengan baik terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga (Batak : nunga ditutung hudonna). Tujuannya bukan hanya untuk keperluan pribadi, tetapi juga untuk keperluan proses pengkaderan sebagai raja parhata atau dengan sebutan lain yang mumpuni dalam konteks adat, sehingga diharapkan kelak akan dapat mewariskan nilai-nilai luhur budaya Batak ke generasi berikutnya serta untuk keperluan berbicara di ruang publik. Pertanyaan adalah, apa hubungannya dengan obrolan di lapo tuak?.

Terkait dengan aktivitas komunikasi sosial melalui berbagai topik bahasan yang digumuli secara bersama dalam obrolan di lapo tuak. Aktivitas ini telah berlangsung secara berulang dari waktu ke waktu. Pembicara dan peserta obrolan merangkap sekaligus, karena sifatnya spontanitas. Berbeda dengan seminar yang sifatnya formal, topik yang akan dibahas telah ditetapkan panitia dan undangan disebar ke berbagai pihak sebagai peserta, termasuk mengundang beberapa narasumber atau pembicara seminar.  

Berbagai hal yang dicermati penulis dari berbagai topik obrolan di lapo tuak yang bersifat positif adalah sebagai berikut : 1. Potensi yang dimiliki masing-masing peserta yang merangkap juga sebagai pembicara menjadi ajang untuk berbagi pengalaman. Hal ini terkait dengan falsafah Batak, berbunyi "mata guru roha sisean", artinya, pengalaman guru yang terbaik. 2. Kebiasaan mengeluarkan pendapat dalam bentuk lisan adalah bagian dari proses untuk meningkatkan kemampuan berbicara dengan baik di depan umum dan atau terkait dalam upacara-upacara adat. 3. Lapo tuak atau lapo dalam terminologi partungkoan bagi komunitas parmitu dan atau warga lain terutama kaum bapak menjadi ruang penyegaran dengan meluangkan waktu melakukan berbagai aktivitas, di antaranya ngobrol, nyanyi bersama, main catur, berbagi pengalaman dan informasi terhadap berbagai hal dan lain sebagainya. 4.

 Terjalinnya hubungan komunikasi sosial dalam tata pergaulan yang menyemangati perasaan positif, di antaranya yakin terhadap kemampuan diri, rasa keberanian, rasa bangga, dan interaksi sosial lainnya. 5. Managemen obrolan di lapo tuak mengacu pada pola pendekatan "curah pendapat" (brain storming) juga terkait dengan pemeliharaan unsur budaya Batak, yakni melantunkan berbagai lagu Batak dan pada umumnya mereka berkomunikasi dalam bahasa Batak.

Di pihak lain, ada kalanya topik yang dibahas menjadi ramai terkait mengeluarkan pendapat, persis seperti melihat perdebatan di acara televisi. Terkait dengan hal yang disebut terakhir, pola pikir sebagian orang, apabila tidak ikut berbicara, maka orang lain beranggapan tidak berani, tidak percaya diri, dan atau tidak mampu. Sebaliknya, bagi orang yang berbicara dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri, apabila hal yang disuarakan terasa asing ditelinga orang yang mendengarkan, maka akan muncul komentar begini, makanya jangan asal ngomong atau asbun (asal bunyi). Artinya, pemahaman yang ingin disampaikan adalah belajar berbicara untuk menjelaskan adalah perlu, tetapi juga perlu belajar diam untuk mendengarkan orang lain berbicara.

Faktor-faktor negatif yang dicermati adalah sebagai berikut. 1. Adanya kecenderungan dari beberapa orang yang ngotot soal pendapat dan atau bersitegang soal prinsip. 2. Kebanyakan dari peserta obrolan di lapo mudah sekali bereaksi melalui aktivitas bicara, bahkan pada saat tertentu, ada kalanya dua hingga tiga orang berbicara sekaligus. 3. Dalam konteks obrolan di lapo tuak menempatkan setiap orang sebagai sumber yang layak berbicara, sehingga kerap terjadi memotong pembicaraan orang lain, tidak dapat menahan diri untuk menyela mengeluarkan pendapat. 4. Disadari atau tidak, pada saat diskusi obrolan sedang berlangsung, gaya penghambat komunikasi yang merupakan kebiasaan tidak terpuji berpotensi membangkitkan amarah bagi yang lain dengan cara meremehkan, menyalahkan, membandingkan, menyindir, memberi cap, dan lain sebagainya. Hal yang demikian dapat dikategorikan kekerasan psikis sebagai salah satu bentuk dalam kekerasan rumah tangga (KDRT) berdasarkan tafsir penulis menurut ketentuan pasal 7 Undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 5. Manakala pemahaman ini benar, pembicara kondang di ruang publik adalah hal yang sulit, tetapi belajar diam untuk mendengarkan jauh lebih sulit. 

BERPERILAKU POSITIF
Terkait dengan faktor-faktor negatif yang disebut di atas, mari kita ubah menjadi pernyataan positif menuju perilaku positif dengan mengacu pada hal-hal sebagai berikut "hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni hata". Artinya, yang memutlakkan pendapatnya adalah keliru, kesepakatan dan komitmen bersama merupakan puncak pengambilan keputusan (terjemahan oleh penulis). Dari sudut ilmu sosial, pendapat relatif kebenarannya. Dengan begitu, perlu menjaga keseimbangan berbicara. Artinya, tidak etis dua hingga tiga orang berbicara sekaligus  dan alangkah baiknya juga tidak memotong pembicaraan orang lain. Mengapa seseorang ketika berbicara perlu didengarkan orang lain, bagaimana jika giliran orang lain yang berbicara apa tidak perlu kita dengar?. "Pada dasarnya kebutuhan manusia yang paling dalam adalah keinginan agar perasaannya dimengerti, didengar, dihargai dan dirinya dapat diterima oleh orang lain" (Teknik Berkomunikasi, BKKBN, Jakarta,2002).

Yang tidak kalah pentingnya adalah, perlu menghindari hal-hal yang bersifat menggurui atau menasehati, istilah gaul anak muda "ngeles". Di pihak lain, kebiasaan jika mendapat giliran untuk bertanya, maka sering terjadi materi pertanyaan yang ditunggu justru berubah menjadi materi ceramah dan terkesan bertele-tele, sehingga waktu menjadi tersita. Mengapa demikian? Manakala pemahaman ini benar, merumuskan materi pertanyaan itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan menjawab pertanyaan. Fakta menunjukkan, ada kalanya dalam suatu pertemuan, jika ditawarkan untuk bertanya, maka hampir seluruh peserta menjawab "pas". 

Kembali ke inti tulisan, boha ma hata di lapo, kata-kata ini sering muncul, mungkin ada benarnya. Maksudnya obrolan di lapo itu tidak perlu ditanggapi. Dari perspektif etis, marilah kita hargai pendapat orang lain, baik di lapo tuak atau di tempat lain. Artinya, obrolan di lapo tuak sangat tergantung atas komunitasnya untuk membicarakan hal-hal yang bersifat positif atau negatif. Penulis ingin menyampaikan pesan kepada semua komunitas lapo partungkoan di mana pun berada, marilah kita pelihara tutur kata dan kesantunan berbicara serta menghindari hal-hal yang terkait dengan kekerasan. Perlu untuk kita renungkan dan wujudkan bersama : berfikir dan berperilaku positif di mana pun berada termasuk di lapo partungkoan. Lapo tuak atau lapo adalah tempat terhormat, tempat berkumpulnya komunitas orang-orang terhormat pula.

Lissoi… lissoi… lissoi… lissoi… O Parmitu… Demikian berbagai hal yang dapat disampaikan. Andor ras andor ris andor siporapora, sai horas jala torhis ma hamuna saluhutna na di lapo partungkoan on, marsituriak na uli na denggan huhut marparsaoran dibagasan dame dohot las ni roha. Horas.

(Penulis adalah pemerhati sosial dan kolumnis budaya Batak, tinggal di Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara/ r)


sumber : Harian SIB
Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post