Catatan Ramlo R. Hutabarat : Unjukrasa di Tapanuli Utara

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Foto : Metro Siantar (Bernad)
Ada peristiwa menarik kemarin, Kamis 19 Juni di Tarutung,Tapanuli Utara. Apa ? Sejumlah orang di bawah panji  Aliansi Masyarakat Anti Pembodohan melakukanunjukrasa di Gedung DPRD dan Kantor Bupati Tapanuli Utara. Mereka teriak-teriakdisana, seperti kebiasaan orang- orang lainnya yang berunjukrasa .  Teriak-teriak dengan ragam tingkah polah dangaya serta cara. Dan sudah tentu, di sekitar mereka banyak polisi yangberjaga-jaga. 

Seorang yang mengaku Koordinator Aksi itu bernama TulusNababan terkesan percaya diri berteriak menuntut ini itu. Antara lain, WakilBupati Tapanuli Utara Mauliate Simorangkir dituduhnya telah melakukanpembodohan terhadap siswa di daerah itu. Pasalnya, masih menurut Tulus,Mauliate telah melarang siswa melakukan ibadah di sekolahnya. Padahal selamaini, kata Tulus, tidak pernah ada larangan bagi siswa untuk melakukan ibadah disekolahnya.

Foto : Harian Orbit (Rinto Aritonang)
Persoalan kedua yang diteriakkan Tulus, Mauliate jugaditudingnya telah merendahkan martabat jurnalis. Waktu wakil bupati ituberkunjung ke Kantor Dinas Pendidikan Tapanuli Utara belum lama ini, wartawanyang hendak meliput justru diusir Mauliate. Tidak seharusnya seorang pejabatpublik yang dipilih rakyat melakukan tindakan arogan seperti itu, masih menurutteriakan Tulus.

Soal ketiga, Nikson dan Mauliate selaku Bupati dan Wakil Bupati kata Tulus telahm
elanggar atau ingkar pada janji kampanyenya. Waktu kampanye tempo hari,dijanjikan tidak akan melakukan pemindahan PNS dan para PNS yang akan mendudukijabatan harus melalui test and propertest. Nyatanya, masih menurut Tulus,beberapa pejabat sudah dinonaktifkan dan PNS yang sudah diposisikan sebagaipejabat tidak melalui fit and propertest.

“Karena itu, kami meminta agar wakil-wakil rakyatmendengarkan aspirasi kami dan segera melakukan Rapat Dengar Pendapat”, kataTulus masih saja dengan cara berteriak-teriak tak karu-karuan  , histeris bagai kemasukan roh jahat.

Wakil Ketua DPRD Tapanuli Utara Ottoniyer Simanjuntakyang menerima mereka di Gedung DPRD, dengan wajah tenang dan kalem menyebutakan menyampaikan yang diteriakkan Tulus itu kepada anggota dewan lainnya.Biasalah, seperti politisi lainnya, dia berjanji akan berkoordinasi dengananggota dewan lainnya untuk membahasnya.

“Kita memberikan apresiasi yang baik dengan tuntutan inisemua. Kitaa mendukung tuntutan yang seperti ini karena sifatnya benar-benarkonstrktif”, kata Otto.

Setelah merasa letih dengan aksi unjukrasa mereka diGedung DPRD Tapanuli Utara di jantung kota Tarutung itu, para pengunjuk rasaberombongan menuju Kantor Bupati Tapanuli Utara.  Kedatangan mereka disambut Mauliate mewakiliBupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan. Beberapa orang di antara mereka diajakmemasuki ruangan kerja Mauliate, diberi minum teh atau kopi, cakap-cakap, danbubar. Selesai.

Bernostalgia

Unjukrasa atau apa pun namanya seperti demontrasi,melakukan aksi, turun ke jalan dan entah apa lagi, sesungguhnya merupakanbagian dari demokrasi. Sama dengan beda pendapat, semuanya sah dan bisadilakukan oleh warga negara sepanjang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Yang penting agaknya, unjuk rasa tidak dilakukan beriiringan dengan tindakkekerasan apalagi anarki. Apalagi, di era keterbukaan ini semua bisa bilang apadan kenapa rupanya. Sekali lagi, yang penting dilakukan sesuai aturan dan tidakdengan cara – cara kekerasan.

Di masa orde baru dulu, orang-orang yang melakukan unjukrasa tidak seberani para pengunjuk rasa sekarang. Itu dikarenakan di zaman ordebaru dulu , unjuk rasa terkesan sebagai barang haram saja. Makanya, untukmengajak orang lain pun berunjukrasa sulitnya bukan main meski pun issu yangdiusung justru untuk membela orang-orang yang diajak itu. Ketika hak-hak gurudisunat atau dikebiri di Simalungun dan saya mengajak mereka untukberunjukrasa, justru mereka menolak.

Mencermati unjukrasa yang dilakukan Tulus Nababan dankawan-kawan di Tarutung pekan ini, saya teringat kawan-kawan saya para pelakupergerakan di Siantar – Simalungun. Di antaranya Batara Manurung yang sekarangsalah seorang komisioner di KPU Pematangsiantar, Daulat Sihombing yang sekarangHakim Adhock di Pengadilan Tinggi Medan, serta Mian Marpaung yang waktu itukaryawan NV STTC Pematangsiantar. Sekarang saya tidak tahu dimana Mian, tapi kabarkabur saja yang saya dengar di terakhir bermukim di Jakarta. Termasuk ImranSimanjuntak yang sampai sekarang masih menjalankan hobbinya berunjukrasa, danHermanto Sipayung yang sekarang menjadi Wartawan METRO SIANTAR.

Di masa lalu, di penghujung kekuasaan orde baru dulu,saya memang hobbi untuk melakukan unjukrasa meski pun pada masa itu unjukrasaartinya sama dengan nyerempet-nyerempet bahaya. Disebut nyerempet-nyerempetbahaya, sebab pelaku unjuk rasa dekat bahkan akrab dengan penjara. Kawan sayaDaulat, Batara atau Mian serta Imran Simanjuntak, tak sekali dua sudah menginapdi hotel prodeo menyusul unjukrasa yang mereka pimpin. Tapi ya begitulah karenahobbi saja, mereka tak pernah juga jera-jeranya berunjukrasa ria.

Saya waktu itu yang juga punya hobbi untuk berunjukrasa,kerap nongkrong di Kampus FKIP Universitas HKBP Nommensen sehari-harian. Disanabersama teman lainnya, kami mencari-cari topik atau thema apa yang akan diusungsebagai alasan untuk turun ke jalan. Sekarang, saya teringat pada RinduMarpaung, Batara Tampubolon, Eriwayaty Simatupang, Martin Aritonang, HardonoPurba, Hentung Purba, Hendro Purba,  OjakNaibaho, Rio Komeng Tampubolon,  AroniZendrato, Torop Sihombing, Piliaman Simarmata, Ulamatuah Saragih, Janter Siraitdan banyak lagi yang tak mungkin saya sebut namanya satu persatu. Sekarang,umumnya mereka sudah menjadi ‘orang’ Hardono misalnya sekarang menjadi KepalaSMA Negeri di Silou Kahean, Aroni menjadi Wakil Walikota Gunung Sitoli, Jantermenjadi Anggota DPRD Sumatera Utara, dan Ulamatuah menjadi Ketua PanwasluSimalungun. Sedang Ojak, sekarang menjadi Wakil Ketua DPRD Simalungun.

Unjukrasa yang dilakukan Tulus Nababan di Tarutung itu,betul-betul membuat saya bertamasya ke masa lalu dan bernostalgia ke masa-masayang indah dulu. Saya mengingatnya seraya mengenangnya dengan lika-liku, sukaduka serta pengalaman-pengalaman menggelikan bercampur baur dengan mengerikansekaligus lucu dan menggembirakan. Ada situasi yang menyeramkan tapi justrukami nikmati, ada kondisi yang menyulitkan tapi kami hadapi dengan penuhkegirangan. Sesuatu yang paradoksal.

Manganar Situmorang yang di awal era reformasi menjadiKepala Dinas Perhubungan Kabupaten Tobasa, pernah datang ke Siantar memintasaya untuk memimpin unjuk rasa di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta. Soal yangdiusung adalah dugaan korupsi yang dilakukan oleh Sahala Tampubolon yang waktuitu Bupati Tobasa, dan unjukrasa itu dilakukan karena Manganar berseberangandengan Sahala, sedang pemilukada Tobasa akan segera digelar.

Pendek cerita, saya berangkat ke Jakarta  dan menemui kawan saya Johalim Purba seorangaktiifis pergerakan di Jakarta. Bersama dia, kami berkunjung ke kawasanKalibata untuk mengumpulkan massa yang dibayar sekian rupiah per kepala, danunjukrasa pun kami lakukan lengkap dengan seperangkat gondang sabangunan.

Plus minus, saya pun menerima sejumlah uang dari Manganarsebagai biaya pembayaran demonstran, ongkos angkut mereka, biaya spanduk,poster, ulos Batak yang dikenakan pengunjuk rasa, soundsystem, biaya makanminum dan entah apa lagi. Selama di Jakarta mengkoordinir unjukrasa, sayamenginap di hotel berbintang dan ketika pulang ke Siantar pun beberapa harikemudian segepok uang saya storkan terlebih dahulu ke rekening saya di BankLIPPO yang waktu itu masih operasional. 

Menggelikan

Kembali ke cerita unjukrasa yang dilakukan Tulus Nababandan kawan-kawan, saya tidak melihatnya sebagai suatu thema atau topik yangperlu untuk dituntut dengan harus melakukan unjukrasa segala. Thema yangdiusung saya nilai terlalu sepele dan sederhana sekali, yang sesungguhnya bisadiselesaikan melalui dialog atau pembicaraan satu meja belaka. Apalagi, sayapikir unjukrasa dilakukan ketika telah ditemui jalan buntu antara kedua kubuatau pihak.

Dalam pandangan saya, unjukrasa baru perlu dilakukanketika persoalan yang terjadi sudah menyangkut hajat atau kepentingan publik(orang banyak) dan penyelesaiannya tidak bisa lagi dilakukan lewat komunikasidalam bentuk interaktif atau dialog dua arah. Unjuk rasa dilakukan, ketikaupaya-upaya persuasif yang dilakukan telah menjadi jalan buntu dan komunikasitidak lagi bisa dilakukan karena masing-masing pihak sudah menutup diri.

Tentang issu larangan beribadah di sekolah oleh Mauliate,sudah pasti saya tidak percaya pernah dilakukan Wakil Bupati Tapanuli Utaraitu. Saya pastikan sekali itu tidak pernah ada kecuali pemelintiran olehkelompok Tulus Nababan dan kawan-kawan belaka. Jadi cuma sebuah seolah-olah,apalagi menurut Lae saya Nelson Sitompul, kita ini sebenarnya hidup dalam alamyang seolah-olah. Seolah-olah kita adalah penganut agama yang setia,seolah-olah kita ini seorang Pancasilais, seolah-olah kita pemuka masyarakat,bahkan seolah-olah kita jurnalis.

Khusus mengenai pengusiran yang dilakukan Mauliateterhadap beberapa jurnalis seperti yang dituding Tulus, saya memastikan itutidak pernah terjadi karena kebetulan pun ketika itu saya ada di Kantor DinasPendidikan Tapanuli Utara. Atau boleh jadi, saya dan kawan-kawan saja yangberbeda penafsiran tentang arti dan makna kata ‘usir’

Sore itu, Rabu dan saya lupa tanggal berapa di bulan Mei2014, Mauliate sebenarnya bukan berkunjung ke Kantor Dinas Pendidikan TapanuliUtara.  Tapi yang terjadi adalah Mauliatemengumpulkan seluruh kepala sekolah di Tapanuli Utara di aula (hall) kantoritu. Di ruangan itu mereka melakukan pembicaraan internal, apalagi mengingatsebelumnya Mauliate pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Tapanuli Utarabeberapa tahun sebelumnya. Dan ketika beberapa jurnalis ingin memasuki aulatadi, petugas meminta mereka agar tidak memasuki ruangan, dan hal inilah yangdisebut sebagai sebuah ‘pengusiran’

Tentang pemindahan atau mutasi PNS serta fit andpropertest, saya justru jadi tertawa terbahak-bahak sampai terkekeh-kekehhingga membuat saya nyaris sempoyongan dan terhuyung-huyung.  Yang pasti, untuk kepentingan dinas dan dalamrangka memperluas pengalaman, kemampuan, dan memperkukuh persatuan dan kesatuanbangsa, diselenggarakan perpindahan tugas dan atau perpindahan wilayah kerjaseperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000. Dalambenak saya pun, mutasi atau pemimdahan PNS sekaligus juga sebagai penyegaran,memperluas ruang lingkup serta wawasan mereka juga. Jadi aneh sekali kalauPemkab Tapanuli Utara tidak melakukan hal itu.

Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PegawaiNegeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural ditetapkan dengan keputusanpejabat yang berwenang, juga seperti yang diatur dalam sebuah PeraturanPemerintah.  Kalau pun ada  keputusan Bupati Tapanuli Utara yang tidaksesuai dengan aturan perundang-undangan atau menyimpang dari ketentuan yangberlaku, saya pikir tidak perlu untuk ditentang dengan berunjukrasa segala. Adakoq jalur hukum yang dapat dilakukan untuk itu, menggugat melalui PTUN misalnyaseperti yang pernah dilaukan Sabrina Tarigan di Pemkab Tanah Karo sana ataumenyampaikan hal tersebut kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian di Jakartaseperti yang pernah dilakukan kawan saya Arsyad Siregar di Pemkab Simalungunsana.

Oalah. Unjukrasanya Tulus Nababan dan kawan-kawan  di Tarutung pekan ini, mengingatkan saya beberapa tahun lalu ketika dimintaManganar Situmorang untuk memimpin unjukrasa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung,Jakarta.

Tarutung, 20 Juni 2014,
Ramlo R Hutabarat
_____________________________________________________________________________

link terkait : 
Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post