Catatan kecil anak pinggiran : ANTARA LOYALITAS DAN IDEALISME

Catatan kecil anak pinggiran : ANTARA LOYALITAS DAN IDEALISME

“Sebenarnya pak Prabowo itu lebih baik dari Jokowi, hanya saja ambisi pak Prabowo telah membutakan mata hatinya - menurut saya dan di-aminkan oleh beberapa teman-teman saya-, sedangkan Pak Jokowi, tidak berani bermimpi menjadi Presiden walaupun semua orang, tanpa terkecuali - selalu bermimpi menjadi Presiden”, ujar beberapa orang yang dalam beberapa kesempatan berbeda berbincang-bincang dengan saya. Hal ini tentunya karena Pak Jokowi adalah anggota dalam partai, dan tentu tidak berani bermimpi muluk-muluk karena Jokowi bukan politikus sejati dan juga masih banyak petinggi partai yang jabatannya jauh lebih tinggi. 

Sebenarnya, saya melihat ada kesamaan antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi, dimana mereka sama-sama ingin menjadi RI-1, sama-sama ingin memperbaiki Indonesia, sama-sama ingin membangun peradaban yang tentunya lebih baik dari sebelumnya. Dan saya, tentunya lebih mengidolakan Pak Prabowo dalam segala hal dan siapapun, ini bisa dibuktikan dari dukungan saya ke Mega-Prabowo di Pemilu yang lalu – bukan, bukan hanya saya, tetapi semua orang termasuk para politikus sejati di negara inipun mengakui Prabowo lebih unggul. Dan itu terbukti, dari sikap mereka yang tidak berani mengambil resiko ikut terjun mencalonkan diri dalam pemilihan presiden kali ini, karena (mungkin) mereka berpikir, sia-sia adanya melawan Prabowo dalam pertandingan kali ini, kecuali, Prabowo memiliki lawan lain. 

Sedang perbedaan antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi adalah terletak pada cara mereka mewujudkan mimpi-mimpi itu. Prabowo rela melakukan gerilya politik kepada siapa saja tanpa pandang bulu - sedangkan Pak Jokowi harus berjuang “naik” menembus birokrasi partai terlebih dahulu sebelum dia mulai berani bermimpi, dan juga harus tetap bertahan menghadapi kerasnya godaan dalam jabatannya : Harta-Tahta-Wanita. Dalam kapasitasnya menjadi kepala pemerintahan di dua wilayah yang berbeda, tentu para “mafia” ini akan melakukan apa saja untuk bisa menjalankan aksi-aksinya, dan Jokowi, selama beliau menjabat walikota dan gubernur, saya nilai berhasil. Ya, tentunya saya mengacungkan jempol untuk Pak Jokowi, yang bukan hanya berhasil memikat masyarakat, tetapi juga seorang Megawati Soekarno Putri “terpaksa” harus merelakan “kesempatan besar” yang banyak orang ingin memilikinya.

Dan perbedaan mendasar soal mimpi adalah, dalam mewujudkan mimpinya, Jokowi hanya mau bekerja sama dengan orang-orang yang mampu "meredam" ambisinya, dan bahkan Golkar - yang adalah pemenang kedua pemilu legislatif ditolaknya. Banyak partai yang lebih senang ke Jokowi, namun karena tidak mendapat "jatah" sebagaimana yang diharapkan, mereka akhirnya merapat ke kubu Prabowo, dan berjuang mati-matian demi membuat Jokowi tidak menjadi presiden, tujuannya sebenarnya adalah “kebencian” kepada Jokowi, bukan untuk memenangkan Prabowo, namun, karena kalau seandainya mereka berhasil mengalahkan Jokowi, maka Prabowolah yang menang - tentunya ini adalah pilihan yang sulit - karena tidak ada pilihan selain itu. 

Sementara, sebagian orang yang tergabung dalam koalisi merah putih, lebih mencintai partainya - dan ikut apa kata partainya. Mereka berusaha memiliki dan memegang teguh apa yang dinamakan "loyalitas", meskipun mereka tahu, bahwa Jokowi dan koalisinya itu lebih baik dari siapa yang mereka dukung sekarang. Orang-orang ini tentunya bisa kita berikan “Applause”, berdiri tegak mempertahankan “idealisme” yang menurut mereka benar. Ya, tentu saja “idealisme” menurut pemahaman mereka. “Ini perjuangan politik bung”, sebut mereka, namun menurut saya itu adalah egoisme. Beragam pertanyaan pun muncul, “Apakah tidak ada lagi orang partai yang lebih baik dari ketua umumnya?”, “Kenapa partai tidak melakukan Fit and Proper Test dalam menentukan calon legislatornya, calon bupati/walikotanya, atau calon gubernurnya, atau memilih calon presidennya?”.

Didaerah bawahan, ada juga orang-orang yang mengalihkan dukungannya dari Jokowi ke Prabowo hanya karena dia tidak menyukai para pendukung Jokowi didaerahnya. “Lihatlah si anu, berkali-kali menjadi anggota legislatif, tapi tidak pernah berbuat apa-apa. Kalau Jokowi menang, enak sekalilah dirinya!”, ujar seseorang. Ketika saya bertanya mengapa, dia juga beranggapan bahwa para pendukung Jokowi di daerah ini adalah “orang yang tidak baik”, sehingga merekapun mengalihkan pilihan ke Prabowo. 

Namun walaupun demikian, ini adalah pertarungan antara Prabowo dan Jokowi, terlepas dari bagaimana mereka meraih mimpi dan memimpin. Ini adalah pertarungan antara “orang besar” dan “orang kecil”. Besar, karena ribuan anggota legislatif menggantungkan nasib di ujung penanya. Dan kecil, karena dia bukan siapa-siapa. Silahkan tentukan pilihan, karena baik Prabowo maupun Jokowi adalah pemimpin hebat, hanya saja perlu saya ingatkan, mereka berdua adalah manusia yang tergantung dengan manusia lainnya. Semoga Indonesia kita bisa lebih baik, lepas dari muatan-muatan politis….. itu harapan saya, sebagai seorang anak pinggiran yang tidak pernah diperhitungkan. 

Banyak sudah dilakukan demi meraih mimpi. Ada yang bilang Prabowo adalah penculik dan pembunuh, ada yang bilang Jokowi adalah boneka. Tak satupun aku percaya akan isu-isu tersebut. Aku hanya memilih dengan hati, bukan demi kepentingan. Terserah orang anggap aku tidak diperhitungkan suaranya, apakah suaraku jadi penentu kemenangan mereka atau tidak. Atau mungkin juga ada orang yang memilah tulisan ini kata demi kata dan mengambil pengertian sendiri-sendiri, aku tidak perduli. Yang jelas, aku akan memilih dengan hati, untuk kebangkitan Indonesia yang lebih hebat. Semoga Indonesia bisa memilih dengan hati…

Tarutung, 22 Juni 2014
T. S. Chompey Sibarani

Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post