Guru; Pahlawan Tanpa Buku

“Guru: Pahlawan Tanpa Buku”

Oleh: Jekson L. Tobing, SE (*)

=================
Kemarin, tgl 25 Nov 2014 diperingati sebagai “Hari Guru” maka tak ayal di seluruh Indonesia para guru memperingatinya. Dan di Tapanuli Utara, peringatan hari guru tersebut dilaksanakan pada  Jumat, 28 Nov ’14, bertempat Di Sopo Partungkoan, yang dihadiri oleh 2 orang utusan dari setiap sekolah yang ada di Taput. Praktis, Sopo atau Gedung Partungkoan tersebut dijejali oleh ratusan bahkan ribuan orang Guru lengkap dengan pakayan kebesaran, Dinas Korprinya.

Bagi para Guru pengguna Media Sosial seperti FB, Twitter dll_ sudah barang tentu mereka mengabadikan momentum tersebut dalam berbagai fhoto bahkan vidio, yg menampilkan keceriaan bersama murid dan atau sesama guru disekolahnya masing-masing; sehingga moment tersebut menjadi bahan status atau postingan di Wallnya masing-masing bersamaan dengan ucapan Selamat Hari guru.

Yang terlupa dari para benak guru, barangkali adalah minimnya postingan atau penjelasan mengapa Tanggal tersebut ditetapkan atau diperingati sebagai Hari Guru dan apa makna dari momentum tersebut bagi mereka. Apakah semua Guru di Taput telah memahami  makna dan tujuan peringatan itu dan mengetahui latarbelakang sejarah penetapan tanggal tersebut sebagai  hari peringatan?

Guru, yang selama ini diberi label “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, hemat Penulis sudah tidak relevan lagi pada saat ini, mengingat program pemerintah yang telah berupaya memberikan penghargaan terbaik kepad guru, dalam berbagai bentuk dan cara demi memperhitungkan balas Jasa Guru, baik dlm bentuk Sertifikasi Guru, Beasiswa atau dlm bentuk lain. Label yg desematkan kepada Guru, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” konotasinya tidak mencerminkan penghargaan (reward) terhadap profesi Guru.  Selain tidak lagi etis, sebutan tersebut sesungguhnya sudah bertentangan dengan bentuk balas jasa yang telah direalisasikan kepada guru. Oleh karena itulah dan bersamaan dgn peringatan “Hari Guru”, Penulis tertarik membahas beberapa contoh Kasus yg menyangkut profesi Guru (tenaga Pendidik), khususnya di Kab. Tapanuli Utara dan menyajikannya kepada para pembaca, bukan dengan judul: Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” akan tetapi dgn Judul: “Guru: Pahlawan Tanpa Buku”.
==================================
Mengawali pembahasan dlm tulisan ini, Penulis sengaja mengutip cerita dari kisah nyata dibalik peristiwa pengeboman kota Nagasaki & Hirosima, pada thn 1945 di Negara Jepang; yg menurut Penulis sangat relevan dengan pembahasan menyangkut Guru.

Konon, tidak lama setelah pengeboman itu Kaisar Jepang bukannya bertanya seberapa banyak tentara yang tewas atau yang masih hidup; berapa taksiran kerugian nilai harta benda yg  hancur atau berapa lagi persediaan persenjataan yang tersisa. Tidak!
Kepada para pembantunya, sang Kaisar terlebih dahulu bertanya: “Berapa sisa Guru yang masih hidup??”
======
Seperti kita ketahui Jepang adalah negara kecil baik dari segi wilayah dan jumlah penduduk jika dibandingkan dgn Negara kita, Indonesia. Bahkan jika ditinjau dari segi sumber daya alam, Negara Jepang tidak ada apa-apanya dibanding dengan Indonesia. Pun dari histori sebuah negara, sdh jelas bahwa pada thn 1945 itu Jepang baru saja mengalami kehancuran sementara Indonesia baru saja bangkit dan merayakan Kemerdekaan; itu artinya bahwa sesungguhnya negara kita sebenarnya lbh dulu ‘landing’ dalam membangun bangsanya dari pada Jepang.

Tetapi mengapa sampai saat ini negara Jepang lebih maju? Lebih terdepan dalam penguasaan tehnologi & informasi dan Kemajuan diberbagai bidang? Apakah, karena Negara itu memberikan perhatian yang besar terhadap profesi Guru/Dosen atau tenaga pendidiknya??

BUDAYA MALU SEBAGAI STUDI KASUS
Di Jepang, kita mengetahui adanya suatu budaya yang disebut “HARAKIRI”; sebuah budaya dimana jika seseorang gagal melakukan tugas dan pengabdiannya, atau terbukti melakukan kesalahan yg merugikan banyak orang; mereka akan bunuh diri karena merasa malu.

Di Indonesia, para Pejabat publik yg terindikasi KKN bahkan sudah dalam kategori tersangka justru sibuk melakukan konfrensi pers, membuat statement dan teori pembenaran; ‘mencari kambing hitam’, dll. Yang lebih parah, malah berani bersumpah utk di gantung di Monas, atau bernazar jalan kaki jika dia terbukti bersalah. Bahhh...

Di Tapanuli utara, ada seorang Guru mantan Kepsek SMP Siatas Barita, sekarang Pengawas di Dinas Pendidikan, oknum guru ini sungguh tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak memiliki budaya malu. Ketika menjabat Kepsek dua tahun yg lalu pernah memesan buku LKS  dari seorang suplier Buku taoi sampai sekarang Oknum tsbt belum melunasi uang buku tsbt, janji tinggal janji tapi utang tidak dibayar. Bahkan setelah tidak menjabat, mantan Kepsek tsbt melempar tanggungjawab pembayaran utangnya kepada Kepsek penggantinya, dgn alasan bahwa buku tersebut adalah utang sekolah. Meski sdh membuat kesepakatan dengan Kepsek pengganti, dgn cara membagi tiga Nilai  buku yang menjadi persoalan tersebut, tapi sekali lagi kesepakatan itupun tetap diingkari.
Sudah diadakan pendekatan kekeluargaan berhubung guru tsbt satu marga dgn pihak penerbit dan  dgn terpaksa melibatkan suaminya yg nota bene mantan pejabat di Pemkab Taput; tapi sekali lagi_ guru tsbt memang tidak tau malu, dimana saat terakhir bertemu dengan penyalur buku di Kantor Dinas Pendidikan Taput, oknum Guru ini dengan muka tembok, malah membawa Suplier ke ruangan Satker Bos, yang tidak ada hubungannya dengan utang piutang tersebut.

Lain pula tingkah seorang guru di SMA Sarulla – Pahae, yang “tidak pintar berbohong dan menipu”, karena ketika Suplier Buku menagih tagihannya, Guru Agama ini menjawab sudah mentransfer tapi ketika Suplier meminta bukti transfernya, guru tsbt linglung atau‘mogap’ dan macam alasan dikemukakannya. Dan Suplier menunjukkan print out rekening utk membuktikan kebohongannya.   

Seorang lagi, guru perempuan di SMAN 3 Plus Taput (NB). Oknum guru ini mungkin lebih bobrok lagi mental dan moralnya; karena setelah jadi CPNS (waktu itu belum PNS), wanita ini sdh merasa dirinya mahluk paling hebat, paling top, congkak dan arogan, sampai tidak lagi mengindahkan ajaran Adat istiadat, Agama bahkan mengingkari ikatan perkawinannya dan suaminya karena oknum tsbt terang-terangan meminta cerai dgn alasan yg tidak jelas.
Penulis yakin, bahwa masih banyak kasus atau tindakan oknum guru yg belum terekspos khususnya yang menyangkut perilaku atau sikap yang  tidak terpuji  dari seorang guru. Demikian pula dengan Guru yang baik, mereka belum dilirik dikarenakan oleh banyak faktor.

Menyoal penetapan dan pengangkatan Kepsek di beberapa SMK di Taput, seperti Pangaribuan, Muara, Pagaran dll_ dinilai banyak kalangan pemerhati pendidikan sebagai tindakan yang tidak mencerminkan Visi dan Misi Perubahan sebagaimana didengung-dengungkan pada masa kampanye. Faktanya, beberapa Kepsek di SMK di Taput diangkat dari guru SMP atau SMA yang notabene tidak memiliki track record maupun back ground sesuai dgn bidang keahlian atau jabatan yg diembannya.

‘Jauh panggang dari api” alias ‘marambalangan’. Kata Anton  M Purba,  Sahabat Penulis, yang juga pemerhati pendidikan di Taput. Menurut beliau: jika penetapan Kepsek di Taput tidak mengacu pada prinsip ‘the right man, the right place’, maka hampir bisa dipastikan standart mutu dan tingkat kelulusan siswa di Taput, sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No  54 Thn 2013 Ttg Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, secara umum akan menghasilkan generasi yg tidak becus di Taput.
Lebih jauh, pria yang berdomsili di Jakarta ini menjelaskan: Jika merujuk pada  Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010, tentang syarat-syarat penetapan Kepsek, sesungguhnya pengangkatan personil yg mengepalai guru-guru di SMK Taput tsbt  sudah melanggar aturan dan cacat hukum. Pengangkatan pejabat sekolah yg baru dilantik itu, juga telah mengangkangi Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah No 32 thn 2013, point a (pengganti Peraturan  Pemerintah  Nomor  19  Tahun  2005) tentang perubahan Kurikulum 2013 (K13).

Dari beberapa kasus perilaku dan kondisi seputar Guru dan Pejabat di lingkungan pendidikan seperti dikemukakan diatas, timbul pertanyaan: “Masih layakkah kita berharap adanya produk pendidikan yang bermutu dan ber ahklak dari Taput??”

Seorang Guru, hemat Penulis adalah pribadi yang sangat menentukan bagi masa depan seorang siswa bahkan kelak, dikemudian hari akan menentukan nasib sebuah Bangsa, sebagaimana Jepang telah membuktikannya. Melalui Guru, para anak didik akan belajar tentang banyak hal dalam kehidupannya; bukan saja menyangkut pelajaran tulis menulis atau membaca (sejak duduk di kls satu), bukan pula cuma tentang hitungan (Matematika, Kimia, Fisika dsb), tidak juga sebatas belajar bertutur kata (Bhs Indonesia, bhs Inggris, bhs daerah dll). Tetapi juga belajar tentang Sejarah, Budaya, Budi Pekerti dan Moral (Agama, Pancasila, PMP). Melalui didikan seorang guru (selain pengajaran di lingkungan keluarga) karakter anak didik akan terpola dan terbentuk dari guru yg mendidiknya. Fungsi dan peran Guru (Dosen dan tenaga pendidik lain) bukan pula semata-mata utk menghasilkan orang pintar dgn nilai raport atau Indeks Prestasi yg tinggi, tetapi harus mampu melahirkan siswa yg cerdas sekaligus memiliki moral yg baik.

Reward & Punishment sebagai Solusi
Tentu saja, tidak semua Guru di Taput memiliki akhlak atau moral yang bobrok. Masih banyak Guru yang karkter dan perangainya baik dan miliki keahlian dibidangnya; memiliki etos kerja dan integritas sbg Guru yg layak diandalkan. Kepada mereka-mereka ini, sangat layak diberikan ‘reward’ atau penghargaan yg  tinggi, kesempatan mengikuti pelatihan, meningkatkan ilmu bahkan memberi jabatan sesuai back-ground dan kepangkatannya. Kepada para Guru yg kita sebut pahlawan pendikan,  sangat tidak etis jika tidak memberi tanda jasa dan mereka tidak layak disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Namun sebaliknya, kepada oknum Guru dgn perilaku sebagaimana diterangkan diatas juga harus diberi punishment, teguran dan pembinaan. Jika tdk dapat dibina, maka harus dibinasakan dari bumi Pendidikan Taput. Tindakan utk personil semacam itu perlu dilakukan sebagai efek jera bagi guru yg lainnya.
Kembali pada judul tulisan diatas: “Guru; Pahlawan Tanpa Buku”, Penulis tidak bermaksud menyindir apalagi menyalahkan kebijakan yang telah ditetpkan oleh Pemerintah khususnya Pemda Taput yg melarang pembelian buku di sekolah, dimana oleh aturan tersebut, banyak Guru yg berkeluh kesah atas ketidak-tersediaan bahan mengajar (Buku) bagi mereka.

Penulis ingin menitikberatkan, bahwa Guru yang bermental bobrok harus diberi tindakan tegas (punishment) dan sebaliknya, guru dengan karakter baik harus diberikan penghargaan (reward) bahkan harus diberi posisi jabatan yang sesui dengan talenta, keahlian dan kepangkatannnya. Para guru, dalam menyajikan materi, seyogianya telah paham dan benar-benar menguasai tugas sesuai mata-pelajarannya masing-masing. Mereka harus bisa tampil dan terampil mengajar tanpa melihat buku, baik di kelas maupun diluar kelas. Sehingga, Guru yang demikian sangat layak kita sebut sbg; GURU, PAHLAWAN TANPA BUKU”.

Salam Pendidikan

==============
Penulis: 
Wiraswasta, Pemerhati Pendidikan, Pegiat Sosial, Penulis diberbagai Media (Kabiro & Wartawan di Media Potensi News), Wakil Kepala Devisi & Humas pada Badan Pekerja Nasional Indonesian Corruption Investigation - Taput (BPN - ICI), Ketua Pelaksana Program Peduli Kasih yang digalang oleh Facebooker MTU
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Ads Inside Post