Guru, Pahlawan Tak Berdaya (Menyambut Hari Guru)

Oleh : Ramlo Hutabarat


Guru kata orang merupakan ujung tombak pendidikan. Artinya, masih kata orang, maju mundurnya pendidikan banyak berada di tangan guru. Konon, sebegitu Perang Dunia II usai dan Negeri Sakura hancur-hancuran serta porak poranda tak karu-karuan, Kaisar Jepang bertanya : "Berapa lagi guru kita yang masih hidup ?"

Sang Kaisar tidak menanyakan berapa lagi jenderal mereka yang masih hidup setelah perang usai. Barangkali Kaisar berpendapat, meski negeri mereka kalah perang dan anak negeri berantakan dimana-mana, selagi guru masih ada semuanya bisa diperbaiki dan dibenah. Dan dia bisa benar. Usai perang Jepang kelak menjadi sebuah negara besar, kuat dan kokoh serta perkasa. Barang-barang Jepang laris manis di pasar dunia mulai dari sandal Jepang hingga mesin-mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalan-jalan. Peralatan elektronik made in Japan pun pernah merajai pasar dunia termasuk di Indonesia. Rumput Jepang saja bahkan kita impor dari sana meski sekarang memang tak lagi sepopuler dulu.

Tapi menjadi aneh, meski guru disebut sebagai ujung tombak pendidikan tapi coba simak dan cermati potret hidup dan kehidupan guru khususnya di tanah air. Kalau saja hidup dan kehidupan mereka direkam dalam pita seluloid, akan terlihatlah suatu album yang sangat sosiodramatis. Memilukan dan amat memprihatinkan. Di Kabupaten Simalungun malah, pada 2010 lalu Intensif Guru yang berasal dari Pemprop Sumatera Utara justru digunakan pemkabnya untuk membeli kendaraan dinas pimpinan DPRD. Di Tanah Karo, Nias Selatan dan entah dimana-mana lagi, Tunjangan Profesi Guru dibayarkan secara tersendat-sendat.

Sangat jarang ditemui guru yang bisa hidup layak serta pantas. Artinya, di negeri kita ini guru umumnya tak bisa hidup nyaman dan tenteram dalam kesehariannya. Untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan putra-putri mereka ke jenjang yang lebih tinggi saja pun, umumnya guru masih terus ngos-ngosan. Kalau pun ada ditemui guru yang agak sejuk perjalanan hidupnya, itu karena sang guru memiliki penghasilan lain. Bertani atau berdagang kecil-kecilan misalnya. Itu pun, mereka masih saja tetap hidup dengan cara gali lobang tutup lobang. Ngutang dan ngutang dan baru dibayar setelah gajian.

Banyak sekali cerita duka lara guru di negeri kita ini yang dapat direkam dalam keseharian. Belum lagi sikap pemerintah daerah  yang mengeksploitasi mereka. Pada suatu saat, guru dijadikan sebagai sapi perahan. Lalu pada suatu saat yang lain, guru pun dijadikan pula sebagai kambing hitam. Apalagi setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang itu, sebahagian besar urusan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk bidang pendidikan. Dalam bidang man, money serta material kecuali kurikulum yang masih berpedoman kepada Kurikulum Nasional, menjadi urusan pemerintah daerah. Dan dalam situasi yang seperti itu, guru pun selalu menjadi bulan-bulanan.
Tragedi yang memilukan !

Duka Lara Guru

Karena mereka dianggap sebagai ujung tombak pendidikan, maka maju mundurnya mutu serta kualitas pendidikan acap kali ditimpakan ke pundak guru. Boleh jadi kalau mutu serta kualitas pendidikan melorot, guru dinyatakan sebagai pihak yang paling  di depan harus bertanggung jawab. Bahkan, kalau ada siswa yang jadi pencopet, perampok atau pemerkosa, guru diminta untuk bertanggung jawab secara moral. Guru memang diharapkan sekaligus dibebani tanggung jawab untuk mempersiapkan anak didik agar baik dan berguna di masa depan.  Mau kemana bangsa ini, sepertinya semua dibebankan ke pundak mereka.

Tapi meski guru dibebani tanggung jawab untuk mempersiapkan masa depan anak didik, justru di sisi lain mereka acap sekali diabaikan bahkan tidak dipedulikan. Di Tapanuli Utara misalnya, Simanjuntak yang Kepala SMA Siborongborong malah dipindahtugaskan Toluto menjadi Guru Kelas di salah satu SMP di kawasan Pahae sana. Akh, berlaksa-laksa tindakan sewenang-wenang dan perlakuan tidak wajar, penindasan serta pemerkosaan hak yang menggilas guru dalam posisi ketidakberdayaannya, tidak pernah dipedulikan siapa pun dan tidak diberi keadilan oleh pihak mana pun. Bahkan, PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) saja pun sebagai organisasi profesi guru di tanah air tidak pernah dan tidak akan.

Guru malah tetap dan masih terus tak berdaya karena posisinya yang sangat lemah tadi. Sebagai tenaga kerja, mereka diangkat, dibayar, dibina dan dipensiunkan atau diberhentikan oleh majikannya yang dalam hal ini pemerintah bagi guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau oleh yayasan perguruan bagi mereka yang menjadi Guru Tetap Yayasan. Dan celakanya, dalam posisi yang seperti itu, mereka benar-benar tidak berdaya dan selalu tunduk, patuh, taat serta takut kepada majikannya. Masih di Tapanuli Utara, seorang Kepala SMK Otomotif di Sipoholon dipindahkan Toluto menjadi Guru Kelas di SMK Pertanian di Pangaribuan. Dan guru itu pun tak bisa bilang apa, sementara siapa saja pun diam melulu seperti tak ada terjadi apa-apa.

Penetapan guru sebagai tenaga kerja adalah sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri. Hal ini sesuai dengan status guru dan karakteristik pekerja yang ditetapkan oleh organisasi perburuhan dunia.  Tapi, di banyak negara penetapan guru sebagai tenaga kerja profesional sudah sangat biasa dan berjalan baik. Termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Di negeri kita ini, apa boleh buat mereka masih saja digolongkan sebagai tenaga kerja meski belakangan kita mengenal Tunjangan Profesi yang diberikan pemerintah kepada (sebahagian) guru.

Cerita tentang pemotongan gaji guru dan hak-hak lainnya tidak lagi menarik dibaca di surat kabar karena sudah terlalu sering. Di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan misalnya, untuk merayakan HUT kabupaten itu pun guru diwajibkan memberi sumbangan sekian puluh ribu atas perintah camat setempat. Di Tapanuli Utara malah, kabarnya pihak guru (sekolah) harus menyerahkan sebahagian Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) kepada salah satu pasangan calon bupati/ wakil bupati atas instruksi oknum Kepala Dinas Pendidikan, katanya. Uang yang dikumpulkan itu, kabarnya pun digunakan untuk memberhasilkan pasangan tadi agar terpilih menjadi Bupati/ Wakil Bupati Tapanuli Utara.

Sampai sekarang, tidak ada pemberitaan surat kabar misalnya, tentang masalah pemotongan Dana BOS yang terjadi di Tapanuli Utara itu. Boleh jadi para jurnalis di daerah itu beranggapan, kalau pun diberitakan tidak akan ada pihak mana saja yang menindaklanjutinya untuk penegakan hukum, kebenaran serta keadilan. PGRI saja sebagai wadah organisasi guru tidak akan. Begitu juga Dewan Pendidikan, bahkan Komite Sekolah. Yang ada justru penunjukan kekuasaan yang akhirnya akan menyudutkan posisi guru terutama kepala sekolah. Padahal, bagi guru dan keluarganya, pemotongan gaji serta hak-hak lainnya berkaitan langsung dalam kehidupannya sehari-hari.

Sebagai contoh, pada 1995 lalu pernah sejumlah guru di Tapanuli Utara melaporkan duka laranya kepada instansi berwenang, Kanwil Depdikbud dan Dinas Pendidikan Sumatera Utara serta Inspektorat Propsu (sekarang Bawasdasu) Menurut para guru itu, ada 25 macam jenis potongan gaji mereka yang dilakukan oleh oknum-oknum di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tapanuli Utara. Tapi kasusnya hilang begitu saja, bagai raib ditelan bumi. Melapor dan melapor juga, tapi tak ada tindak lanjutnya oleh pihak mana pun. Para politisi saja pun paling-paling cuma pura-pura memperhatikan guru saat menjelang pemilu. Lewat itu, guru jadi luput dari perhatian dan malah dijadikan sumber pendapatan.

Karena guru sebagai pelapor kesewenang-wenangan atau pelapor tindak kejahatan oleh oknum-oknum penguasa tidak memiliki daya apa pun, laporan mereka tidak pernah digubris dan tidak pernah ditanggapi secara serius dan positif oleh siapa saja. Mereka - para guru itu - akhirnya tak berkutik sama sekali. Mereka tidak melakukan protes dan tidak berani melakukan perlawanan. Sikap itu mereka ambil karena memahami sekali posisi mereka yang sangat tidak berdaya. Boleh jadi kalau melakukan perlawanan, mereka dipindahtugaskan ke daerah terpencil dan terisolir hingga harus tinggal terpisah dengan anak istri atau suami. Sampai dalam posisi seperti ini, guru pun menjadi pahlwan yang tak berdaya. Bukan lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Masih banyak sekali cerita duka lara guru yang kalau dibeberkan tak akan muat dalam kolom ini. Sebelum adanya dulu KPO (Kenaikan Pangkat Otomatis), justru berderet kenaikan pangkat guru yang tertahan. Di Kabupaten Simalungun misalnya, beberapa tahun lalu ada guru yang tak pernah naik pangkat sampai 20 tahun. Setelah adanya KPO pun, guru harus memberikan semacam upeti atau pelicin kepada orang-orang di pemerintah daerah untuk dapat memperoleh KPO tadi.

Oalah. Untuk semua duka lara guru itu, PGRI pun tidak pernah bersuara dan tidak pernah membela anggotanya meski sang anggota secara rutin terus menerus membayar yuran. Akibatnya memang gampang ditebak. Belakangan guru menjadi cenderung tidak lagi tertarik untuk mencari dukungan moral dari PGRI yang seharusnya memang pantas mereka lakukan.  Guru masih saja ditindas, diperlakukan secara sewenang-wenang, bahkan dizolimi. Belum lagi dihitung beban yang harus mereka pikul ketika sekolahnya mendapat kucuran DAK (Dana Alokasi Khusus), BOS atau yang lain. Semua justru membawa petaka yang memilukan. Entah sudah berapa orang guru yang stroke bahkan mati setelah sekolahnya mendapatkan DAK atau BOS.

Lantas Bagaimana

Perlakuan yang tidak pantas, tidak wajar, bahkan tidak adil terhadap guru yang dilakukan para penguasa atau siapa saja masih saja berlangsung sampai sekarang. Ambil contoh di Kota Purworejo. Bupati disana mengeluarkan Surat Keputusan mempensiunkan guru di usia 56 tahun yang diberlakan secara efektif mulai 1 Agustus 2003 dulu. Para guru pun melakukan protes karena SK Bupati itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 yang memberi hak kepada guru untuk memperoleh perpanjangan masa dinas sampai usia 60 tahun. Tapi apa lacur, banyak guru disana akhirnya mendapat hukuman versi sang bupati. Belakangan, mereka pun diam tak berani (lagi) melakukan protes meski pun haknya dilindas.

Fakta-fakta yang terjadi ini sebenarnya menyimpulkan ternyata masih banyak pihak yang belum merasakan pentingnya pendidikan.  Misalnya yang dilakukan Pemerintah Daerah Purworejo tadi. Kebijakan untuk mempensiunkan guru dalam usia 56 tahun merupakan suatu kebijakan yang tidak bijaksana. Di satu sisi, dimana-mana di tanah air kita masih kekurangan guru untuk mempersiapkan masa depan bangsa, tapi di sisi lain guru pun malah dipensiunkan dalam usia yang masih produktif apalagi justru melanggar Peratura Pemerintah.

Di tengah pergaulan masyarakat pun, penghormatan kepada guru juga sangat tipis dan tipis sekali. Guru sudah acap sekali diremehkan tidak hanya oleh kesalahannya sendiri. Sudah banyak anggota masyarakat yang lebih pintar dari guru, pun lebih tinggi kelas ekonominya. Sayangnya, anggota masyarakat saja pun tidak mau menyadari kalau apa yang diperolehnya sekarang tidak terlepas dari peran dan pengaruh guru ketika mendidiknya dulu.

Lihatlah fakta - fakta di lapangan dalam kehidupan keseharian. Sudah teramat banyak anggota masyarakat yang sama sekali tidak lagi menghargai guru. Beda (kabarnya) di negara-negara maju. Seorang polisi lalu lintas tidak melakukan hukuman apa pun kepada seseorang yang tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) tapi mengandarai kendaraan di jalan raya hanya karena seseorang tadi adalah seorang guru. Kondisi dan sikap masyarakat ini semakin menggiring guru ke dunia yang penuh luka dan penuh duka.  Guru di negeri ini memang penuh dengan ketidakberdayaan serta ketidakberkuasaan. Dan untuk melengkapi ketidakberdayaan guru, barangkali dapat sekadar diingatkan bahwa banyak di antara mereka yang pernah diancam, dihina atau bahkan dianiaya oleh muridnya sendiri, bahkan oleh orang tua murid. Masih ingat si Purba yang pernah menjadi Kepala STM Negeri Pematangsiantar yang beberapa tahun lalu ditikam seorang muridnya dengan obeng ?

Dalam banyak obrolan, guru disebut-sebut sebagai orang yang mulia. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Dalam pidato-pidato petinggi-petinggi pemerintahan atau elite  politik, guru disebut sebagai orang yang membawa bangsa kearah yang lebih baik. Profesi guru disebut-sebut pula sebagai suatu profesi mulia, karena mengabdi tanpa mengharapkan tanda jasa. Tapi dalam kenyataannya, apa dan bagaimana yang sudah kita lakukan terhadap mereka ?  Ayolah mencoba merenungkannya dalam-dalam.

Maka, bila memang ingin meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan, bila ingin maju seperti Jepang, Korea, Malaysia atau Amrik, marilah kita coba sadari posisi mereka. Ayo kita menghargai guru dan memberi perhatian kepada mereka secara prioritas. Meski pun, kita juga menyadari bahwa guru pun memang harus terus menerus meningkatkan profesionalismenya untuk menjadikannya sebagai front terdepan pendidikan.

Maka, Selamat Hari Guru. Teriring salamku serta doa juga pengharapanku  buat Boruku Sorta Hutabarat yang sekarang menjalani pendidikan guru di UNIMED Medan. Juga rinduku pada almarhum Bapakku Hasahatan Mula Toba Hubabarat yang lama menjadi guru di pedalaman Kalimantan Barat dimana aku dilahirkan Ibundaku almarhum  St Porman Pinta Uli Sihombing. Dan aku hampir menangis saat menuliskan alinea terakhir ini.
_____________________________________________________________________________________________
Siantar Estate, 24 Nopember 2013
Ramlo R Hutabarat
0813 6170 6993
_____________________________________________________________________________________________
Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post