CATATAN PINGGIR : Memakna Perseteruan Sesama Tokoh (elit) Batak

CATATAN PINGGIR : Memakna Perseteruan Sesama Tokoh (elit) Batak.

Dengung DEMOKRASI sering menjadi tameng dari para elit partai dalam menyuarakan sesuatu. Kemerdekaan menyatakan pendapat dijadikan sebagai wadah perlawanan yang tidak kita sadari telah menyeret kita pelan-pelan kepada suatu sistem barbar. Demokrasi pada dasarnya dimaksudkan untuk tujuan yang baik, agar tidak ada seorangpun yang bertindak otoriter, memaksakan kehendak, yang tujuannya adalah kebaikan bersama. Realita dari kerancuan demokrasi dapat kita lihat pada rusaknya tatanan peradaban yang pada awalnya terikat pada norma-norma budaya. 
Sudah menjadi kesepakatan bersama (dan bahkan banyak produk-produk hukum di negara ini) yang mengedepankan musyawarah (kekeluargaan) untuk penyelesaian masalah. 

Demokrasi yang terkonsolidasi (katanya) mensyaratkan bahwa semua elit yang berpengaruh mesti sepakat bahwa prinsip demokrasi menjadi satu-satunya aturan main yang dijunjung. Para elit boleh berbeda pandangan tentang semua hal, namun mereka harus sepakat, bahwa perbedaan itu diselesaikan dengan aturan main demokratis. Mereka tidak lagi mencari aturan main di luar prinsip demokrasi. Justru pada titik inilah problem terbesar dari reformasi kita. Ternyata tidak semua elit yang berpengaruh sepakat dengan aturan main itu.

Sebagaimana judul di atas, sudah sering pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik bahkan di jejaring sosial, ulah tokoh-tokoh berpengaruh dari Bangso Batak membuat panas kuping. Tidak jarang pula, diantara sesama Batak yang pro kontra dari sikap mereka, tanpa mengedepankan bagaimana agar ini tidak terjadi ke depan. Dan yang lebih mirisnya lagi, sikap-sikap mereka menular dan menjadi tren di kancah perpolitikan daerah (lokal) khususnya Bona Pasogit tercinta ini. Suasana sosial kemasyarakatan, hubungan hubungan kekeluargaan, Dalihan Natolu (kekerabatan) yang sebelumnya terpatri indah, terjalin dengan tulus, kian hari makin terkikis. Masyarakat Batak sebagai salah satu pasar dari politik itupun sekarang mulai "marsamburetan" (carut marut), "sibahen lomona be". 

Kenyataan yang kita lihat di arena perpolitikan Bona Pasogit, suasana demokrasi tidak lagi untuk itikad baik tapi sudah "mangaup tu diri na be" (egoisme), "masi tarhilala" (imbalan-isme), "On do na butul, so mardomu pe taho" (fanatisme yang berlebihan), "molo dang coccok, sappathon" (otoriter), dll. Cara pandang orang-orang pun cenderung materialistis dan menonjolkan egosentrisme kelompoknya. Kearifan lokal Suku Batak yang mengedepankan solidaritas (masihalaputan), gotong-royong (marsiadapari) yang terikat dalam sistem kekerabatan yang telah mendarah daging (Dalihan Natolu) mulai BEKU. 

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pergeseran pola pikir para tokoh-tokoh dan masyarakat lokal, pastinya diilhami oleh situasi di luar Bona Pasogit karena kita mengetahui pola pikir negatif ini bukanlah budaya Batak itu sendiri. Perseteruan yang (menurut saya) tidak sehat, yang (tidak jarang) sengaja dipertontonkan oleh tokoh-tokoh dari Suku Batak telah menjadi "ekstrakurikuler" gratis yang tidak mendidik ke arah yang lebih baik. Segi positif dari sebuah "NILAI HARGA DIRI" suku Batak yang dulu dijadikan sebagai motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya ternyata dibarengi hal yang negatif (bahkan dominan). Nilai harga diri terlalu tinggi sehingga sulit menerima kelebihan orang lain. 

Jika benar mereka ingin menunjukkan KEBENARAN, apakah harus ditunjukkan dengan cara-cara yang TIDAK BENAR? 

Seiring dengan keadaan Taput sekarang, dalam pemilihan tokoh (wakil rakyat (DRPD/DPR)/kepala daerah (BUPATI dan WAKIL BUPATI), kita bukannya ingin melihat siapa yang menang, tapi siapa yang PATUT. Karena yakinlah, para pemain yang menggunakan cara yang tidak benar (mengikuti permainan sebagaimana saya utarakan di atas, selain manipulatif, juga berbahaya). Pada saatnya yang memainkan cara yang TIDAK BENAR ini, sesungguhnya pula tak peduli pada tujuan baik seperti yang diucapkannya. (Bila mereka peduli, tentu akan takut melakukan perbuatan tercela dan korupsi bukan?)

Saya yakin, kearifan itu sebenarnya masih tertanam dalam setiap insan (baik TOKOH maupun Masyarakat) khususnya suku Batak, hanya niat untuk menyiram dan memelihara itu belum terpikirkan. 

Benarkah kita ingin BONAPASOGIT ini maju? Benarkah kita ingin masyarakat SEJAHTERA? Tidak ada kata terlambat untuk berbuat BAIK.

BERUBAHLAH BANGSOKU !!
BERUBAHLAH!!

PeoL Otik, ditengah kegalauanku, untuk Bonapasogitku
Awal Desember 2013
Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

0 komentar:

Ads Inside Post