MORAL LEGISLATIF DAERAH PERLU DI REFORMASI

oleh :  Juneddi T.M Tampubolon, S.H 

“Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli”, demikianlah isi pasal 399 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (biasa disingkat UU MD-3), lalu mengapa para legislatif di daderah tak dilengkapi tenaga ahli, apakah memang mereka sudah sangat ahli dalam segala hal bidang pemerintahan, sehingga tidak perlu lagi bantuan siapapun (ahli) dalam menjalankan fungsinya.

Tentu saja  yang membuat dan menetapkan Undang-undang tersebut adalah DPR-RI bersama-sama dengan pemerintah (Presiden), yang salah satu tujuannya adalah untuk menunjang dan mengoptimalkan kinerja dan produktifitas para angggota dewan, untuk mencapai target-target program legislasi, dan pembahasan program pemerintah lainnya. Namun yang terjadi dalam kenyataannya, bahwa amanat Undang-undang itu sangat sulit dilaksanakan oleh DPRD-DPRD, khususnya di kabupaten/kota. Contoh dekatnya adalah di DPRD Kabupaten Tapanuli Utara yang sangat sering dikunjungi oleh penulis. Pada periode lalu (2004-2009), dewan berdalih karena alasan kebutuhan tidak mendesak untuk mengadakan tim ahli/pakar tersebut. Lalu setelah UU Tatib Nomor 27 Tahun 2009 diundangkan mereka lagi-lagi mencari alibi (pembenaran) dengan menagatakan tidak tercukupinya anggaran, bahkan yang lebih lucunya lagi ada juga anggota dewan yang mengatakan bahwa para staf PNS di sekretariat DPRD dapat diberikan fungsi ganda atau ditugaskan sebagai tim ahli/pakar tanpa latar belakang tentang kepakarannya.

Di DPR sendiri, para anggota dewan di bantu oleh lebih dari satu orang staf ahli secara prbadi, selain staf ahli yang ada pada setiap komisi atau ada juga fraksi yang melengkapi diri mereka dengan para ahli. Tentu yang menjadi acuan DPR melengkapi diri dengan para tenaga ahli adalah demi kesiapan menghadapi pemerintah dalam pembahasan berbagai rancangan undang-undang yang akan dibahas/dirancang bersama pemerintah. Artinya kepentingan para anggota dewan untuk memeiliki tenaga ahli adalah kebutuhan substansial dan fungsional yang utama selain memang hal tersebut diatur dalam undang-undang, atau dengan bahasa sederhana, memiliki tenaga ahli adalah hak konstitusional yang melekat pada fungsi dan jabatan para legislator, baik di DPR-RI maupun di DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Namun yang menjadi soal dan pembahasan dalam pikiran saya adalah, apa alasan real nya mengapa para DPRD khususnya di kabupaten tidak mematuhi amanat undang-undang tatib tersebut, yang pertama jika alasannya adalah alasan kebutuhan, apa benar ada DPRD Kabupaten atau contohnya Tapanuli Utara tidak membutuhkan pendapat atau pemikiran tenaga ahli dalam membahas ranperda-ranperda yang dibahasnya bersama bupati, kendatipun hanya bersifat adhoc (sementara) saja?. Sebab memang perlu juga kita pahamkan bahwa tenaga ahli itu dapat bersifat adhoc atau temporer sesuai dengan agenda dan pembahasan-pembahasan ranperda-ranperda yang sedang di kerjakan DPRD. Sungguh saya tak yakin hal itu bisa dilakukan dengan benar dengan sendiri oleh para anggota DPRD Kabupaten, tanpa bermaksud under estimate dengan mereka. 

Hal tersebut saya gambarkan karena tentu tak akan mudah bagi anggota DPRD mencerna/memahami rencana program-program kerja dan alokasi anggaran yang di susun oleh para kepala SKPD dalam R-APBD yang akan diajukan ke dewan. Dimana mereka (para kepala SKPD) sudah rata-rata ber gelar S-2, dan telah pula sering mengikuti pelatihan-pelatihan di departemennya masing-masing, tentu saja pengetahuan mereka tentang pengalokasian anggaran sudah lebih mumpuni dan terlatih dibanding para anggota dewan secara subjektif. Dari asumsi itu, tentu alibi mereka yang seolah-lah tak butuh tenaga ahli sudah tentu tidak dapat lagi kita terima secara rasional dan juga substansial serta fungsional justru sangat merugikan dan melemahkan dewan sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari pembahasan-pembahasan Ranperda tentang APBD yang acap kali hanya dilakukan beberapa hari saja, bahkan sering tak mengindahkan mekanisme dan prosedural pembuatan perda yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pernah sengaja saya ikuti pembahasannya hanya berselang sehari saja antara masing-masing rapat, langsung dalam satu minggu bisa dilakukan sidang paripurna pengesahan, apa tidak ajaib mereka (para anggota dewan itu) yang bisa membahas materi yang limaratusan lembar tebalnya hanya dalam waktu hitungan hari?.

Yang berikutnya alasan DPRD Kabupaten tidak mau mengadakan tenaga ahli adalah karena keterbatasan anggaran APBD. Dalam konteks ini, untuk merasionalkan rakyat, barangkali kita semua tidak tahu berapa alokasi anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten untuk pengadaan kendaraan dinas jabatan/operasional. Dari kendaraan dinas yang dipakai oleh Bupati/wakil Bupati, Ketua DPRD dan para wakilnya, para kepala dinas dan pejabat lainnya, maka menjadi sangat ironi membandingkan (budget comparation) keterbatasan anggaran dengan kendaraan dinas para pejabat daerah tersebut, dimana harga satu unit mobil bisa mencapai Rp.500 juta-an/unit. Lalu apakah masih tepat mengatakan alasan karena ketersediaan anggaran, sementara kita lihat para pejabat daerah membelanjakan uang rakyat untuk membeli mobil merk Ford escape, Toyota Prado, innova, fortuner, dan lain-lain ?. Apakah tindakan mereka tidak membohongi rakyat, untuk menikmati anggaran demi kesenangan pribadi ?.

Pengamatan yang saya lakukan, pula memperlihatkan sikap dan perilaku anggota dewan (DPRD) yang tidak negarawan, bahkan sering kita dengar informasi (rumor) bahwa anggota dewan (DPRD) suka minta-minta proyek kepada pejabat eksekutif. Tak jarang pula kedengaran bahwa para anggota dewan ikut-ikutan mendanai loby proyek APBN ke pemerintah pusat di Jakarta, sungguh suatu tindakan yang memalukan dan mencederai rasa keadilan rakyat, utamanya para konstituen yang telah memilihnya. Saat anggota legislatif ikut menjadi pelaksana proyek, saat itu juga dia telah mengabaikan kewajibannya sebagai fungsi pengawasan pelaksanaan proyek pembangunan.

Namun apa yang menjadi opini/uraian dalam tulisan ini memang belum tentu semuanya benar, atau masih butuh observasi yang lebih detail, tapi paling tidak dapat kita jadikan sebagai civil society untuk memantau kinerja para anggota legislatif daerah kita masing-masing. Sebab alokasi anggaran dalam APBD adalah pintu masuk bagi para pejabat daerah dan semua pengguna anggaran daerah untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, seperti perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan jabatan dan wewenang.

Kita sangat berharap, ketika kita diberi negara tugas untuk mewakili suara rakyat, kita suarakanlah suara rakyat itu, ketika kita diberi funsi untuk membuat peraturan-peraturan daerah, kita buatlah peraturan yang memihak kepada rakyat kita, utamanya memihak kepada konstituen, ketika kita diberi negara tugas untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan dan penggunaan anggaran negara/daerah, kita gunakanlah fungsi pengawasan itu dengan benar. Agar kita tidak menjadi bagian dari masalah yang selama ini telah ada, tetapi rakyat menghendaki kita sebagai jembatan bagi penyelesaian masalah (solving problem) bagi perjuangan-perjuangan hidup yang sebegitu sulit mereka hadapi.


Penulis adalah Advokat & Penasehat Hukum; 
Pemerhati Politik, Kebijakan dan Pembangunan daerah;
Mantan Ketua KPAID Tapanuli Utara;
Caleg Partai Gerindra untuk DPRD Tapanuli Utara Periode 2014-2019 Dapem Taput 3






http://www.chompey.com

Share on Google Plus

About chompey

If you need me to solve your problem, just call me... at chompey@ymail.com

1 komentar:

Unknown mengatakan...

semoga tulisan ini memberikan pencerahan bagi masyarakat

Ads Inside Post