Foto : Padang Ekspress |
Tanah Batak terletak di dataran tinggi. Di gugusan pegunungan Bukit Barisan yang memanjang hampir di sekujur tubuh Sumatera. Tak heran, iklim di Tanah Batak umumnya dingin. Di Tele, Sidikalang, Doloksanggul, bahkan di Simalungun Bahagian Atas seperti Kecamatan Raya, Purba hingga ke Saribudolog dinginnya malah sampai-sampai bagai menyengat sampai ke tulang sumsum. Pabila malam, semakin dingin dan dingin. Darah pun hampir-hampir membeku.
Karena dingin, barangkali, Orang Batak dulu dikenal punya banyak anak. Di Pasar Pangururan, ada malah keluarga Sitanggang yang anaknya 17 orang. Saya lupa namanya. Kawan saya almarhum Berin Naibaho pernah mengatakannya ketika saya mandah ke Pangururan 1983 akhir dulu. Ungkapan dalam Bahasa Batak pun memang ada yang mengatakan : Maranak sampulu pitu, marboru sampulu walu. Dan Orang Batak pun memang menganut paham : Banyak anak, banyak rezeki.
Apa hubungan antara udara dingin dengan banyak anak ? Kawan saya bilang, kala udara malam dingin mencekam, tidur pun saling merapat agar bisa saling menghangatkan. Berpelukan. Kalau suami istri saling tidur berpelukan, semua tahu apa yang selanjutynya terjadi. Meski pun menurut saya, serba salah. Orang Tanjung Balai dan Belawan juga tercatat banyak pula punya anak karena udaranya panas. Apa pula hubungan udara panas dengan banyak anak ? Karena malam berlalu dengan panas, tidur pun buka pakain segala. Kalau suami istri saat tidur memang buka-bukaan, Anda - Pembaca - juga tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Karena udara di Tanah Batak dinginnya keterlaluan, zaman dulu perkampungan Orang Batak selalu dilingkari tanamam bambu. Gunanya, saat angin berhembus tak langsung memasuki kampung atau huta. Tanaman bambu terlebih dahulu menghempang angin yang bertiup. Makanya, ada umpasa Batak yang menyebut : Sinuan bulu sibahen na las. Sinuan partuturon sibahen na horas. Dan kampung atau huta yang dikelilingi tanaman bambu di tepian Danau Toba, merupakan ciri khas permukiman di Tanah Batak sampai sekarang. Ada sawah yang menguning membentang, ada permukaan air Danau Toba yang bagaikan cermin raksasa. Ada kampung atau huta yang dihiasi Ruma Batak yang terkesan gagah perkasa, kokoh, tegar dan sedikit angkuh.
Karena udara di Tanah Batak dinginnya keterlaluan pun, sejak zaman dulu Orang Batak selalu merindukan kehangatan. Sesuai dengan zamannya, waktu itu Orang Batak cuma mengetahui dua sumber kehangatan. Pertama matahari, kedua api. Makanya, matahari dan api sempat pernah dipuja Orang Batak sampai-sampai merasuk pada ajaran agamanya. Matahari dan api dianggap sebagai sumber kehidupan.
Sayangnya, matahari cuma ada pada siang hari. Pada malam hari, matahari diusir dan dikalahkan bulan. Tapi bulan tak mampu memberikan kehangatan. Padahal, udara dingin terasa makin mencekam pada malam hari. Maka Orang Batak zaman dulu pun menggunakan api sebagai penghangat tubuh pada malam hari. Tapi sayangnya, api harus terus dijaga dan dikendalikan. Bisa-bisa api yang dianggap sebagai sahabat berubah menjadi jahat. Tidur kepulasan, api bisa merambat membumihanguskan seluruh permukiman. Serba salah. Serba tanggung.
Ketika Orang Batak mulai mengenal keterampilan menganyam 'lage tiar', mereka pun menggunakan tikar sebagai alat penghangat tubuh ketika malam terus merangkak dengan damainya. Tikar dianyam dari bahan baku tertentu yang disebut 'bayon' Tanaman ini, tumbuh subur di rawa atau payau. Batangnya yang kenyal berserat tinggi, dipotong dan dijemur di panas matahari. Diratakan sekaligus dihaluskan dengan alu sebelum dianyam perempuan Batak pada malam hari di bawah sinar rembulan. Meratakan dan menghaluskan bayon biasanya menjadi tugas perempuan-perempuan muda, sementara menganyam bayon menjadi bagian perempuan-perempuan tua.
Saat meratakan sekaligus menghaluskan bayon di bir kampung, para partandang pun datang dengan kata-kata rayuan gombal sambil memetik gitar. Pekerjaan tak terasa sudah rampung, meski 'sese' sudah mulai berdenging dari arah sawah. Karena itu, ada komponis Batak yang menciptakan lagu Manduda Bayon yang pernah top dan pop di tengah Orang Batak. Sebab, masa-masa manduda bayon sekaligus bercinta dengan pujaan hati merupakan kenangan indah yang tak terlupakan ketika (masih) tinggal di Tanah Batak.
Lage yang dianyam perempuan-perempuan Batak, merupakan salah satu peralatan rumah tangga yang multi fungsi. Pertama, bisa dijadikan tempat bersila saat menjamu tamu yang datang ke rumah. Tempat bersila tamu, apakah itu hula-hula, dongan tubu, boru atau ale-ale bahkan siapa saja. Tapi juga, lage/ tikar digunakan juga untuk makan bersama seluruh anggota keluarga, sampai untuk tempat bersila dongan sa gareja saat partangiangan atau evengelisasi yang di Simalungun dikenal sebagai partonggoan. Tidak seperti tradisi Orang Jawa, sesungguhnya Orang Batak secara tradisi tidak mengenal moblier. Kalau pun sekarang Orang Batak menggunakan moblier, itu cuma pengaruh modernisasi yang menyerang Tanah Batak.
Tapi juga, tikar atau lage digunakan pula untuk menjemur padi agar kering dan gampang 'diduda' Tikar digelar dan dibentangkan di pogu ni alaman dan ditaburi bulir-bulir padi. Boleh jadi, siangnya tikar dijadikan sebagai media menjemur padi, tapi tikar yang sama dijadidkan sebagai tempat menjamu handai tolan atau kerabat yang datang. Dan ................ saat menjelang tidur, tikar yang itu pun digunakan sebagai bulusan.
Bulusan ? Ya, bulusan.Anda tak salah baca. Bulusan. Dan menggunakan tikar sebagai bulusan, disebut sebagai 'marbulusan'
Ito saya, Melva Hutabarat yang di FB menggunakan nama Joanne Barat warga Desa Parbaju Tonga Kecamatan Tarutung belum lama ini menggeleng ketika saya tanya apakah dia tahu apa dan bagaimana marbulusan. Dia memandang saya dengan wajah beribu tanya, sebab tak paham apa yang saya maksud dengan kata 'marbulusan' ketika kami menikmati senja di tepian Aek Sigeaon yang membelah Tarutung awal tahun lalu. Melva memang masih belia. Usianya sekarang jelang 29 tahun.
Marbulusan ada kaitannya dengan Tanah Batak yang berudara dingin, sementara tekstil pun pada suatu masa masih barang langka. Kalau pun ada, harganya teramat mahal. Karena udara Tanah Batak dinginnya kala malam merangkak, Orang Batak pun menggunakan tikar sebagai pengganti selimut. Tikar dijadikan sebagai alas tidur, tikar juga yang dijadikan sebagai pengganti selimut. Inilah yang disebut dengan istilah 'marbulusan'
Tradisi marbulusan masih dilakukan Orang Batak di Tanah Batak sampai era awal 1980-an. Tidur beralaskan sekaligus berselimutkan tikar. Tak peduli tikar itu pun sekaligus siangnya dijadikan sebagai media menjemur dan mengeringkan padi, dan sebelumnya juga dijadikan sebagai ajang menjamu kerabat yang datang bertamu. Karena kulit tubuh Orang Batak pada saat itu masih sehat dan kuat, rasa gatal pun tak pernah diterge. Coba kalau sekarang tikar bekas manjomur eme digunakan sebagai bulusan, pasti seluruh tubuh akan gatal-gatal pengaruh kulit tubuh Orang Batak tak lagi sesehat dan sekuat zaman dulu.
Di berbagai pelosok Tanah Batak, marbulusan pun menjadi tradisi. Para partandang yang mengunjungi pujaan hatinya, umumnya tak pulang ke rumahnya karena terlalu jauh jaraknya dengan huta sang kekasih. Maka malam pun dilalui dengan tidur marbulusan dengan dan bersama sang kekasih. Biasanya ramai-ramai sabulusan bersama remaja lainnya. Tidak berduaan dengan si pujaan hati. Karenanya, waktu itu bunting gantung atau hamil sebelum nikah sangat jarang terjadi di Tanah Batak meski remaja berlainan jenis kerap tidur marbulusan, sabulusan. Bagaimana bisa bunting gantung, sebab biar tidur sabulusan tapi tidak cuma berduaan. Apalagi, sesekali orang tua sang kekasih mondar-mandir pura-pura mau buang air kelluar rumah.
Ketika tekstil di negeri ini semakin semarak apalagi dengan membanjirnya burger (buruk-buruk Jerman) di pasaran, harganya pun secara umum dapat dijangkau oleh Orang-orang Batak. Dan, Tanah Batak juga tak lagi sedingin zaman dulu lagi karena pepohonan dan hutan sudah ditebas habis-habisan oleh PT Toba Pulp Lestari serta pelaku-pelaku ilegal loging. Sementara orang-orang di Pemda-pemda di Tanah Batak ikut-ikutan main curang sebab hutan menjadi sumber uang yang sedap dan nikmat.
Maka marbulusan pun tak lagi dilakukan Orang Batak di Tanah Batak. Mereka sudah menggunakan selimut-selimut tebal untuk mengusir dinginnya malam, meski pun selimut-selimut tebal itu merupakan asal 'burjer'
Semua berubah memang. Semua. Yang tak berubah cuma perubahan itu saja. Saya tak tahu apakah karena hutan di Tanah Batak sudah semakin berkurang maka udara dingin pun jadi berkurang pula, atau apakah karena selimut sudah gampang dibeli maka udara di Tanah Batak tak lagi sedingin dulu.
Yang saya tahu, Ito saya Joanne Hutabarat alias Melva Hutabarat yang sekarang berusia 29 tahun tak lagi paham dan tak mengerti apa itu marbulusan.
______________________________________________________________________________________________
Siantar Estate, 16 Mei 2012 Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170m 6993
______________________________________________________________________________________________
0 komentar:
Posting Komentar