(Cukilan bukuku "Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan")
Kupublikasikan lagi sekarang dalam rangkaian Peringatan Hari Guru
Oleh : Ramlo R Hutabarat
Di jantung kota Kendal, Jawa Tengah, Juli 2003 lalu terpampang satu spanduk di jalan raya dalam ukuran jumbo. Bunyinya : Profesionalisme dan Kesejahateraan Guru Menunjang Kualitas Pendidikan" Dan saat diterpa angin, spanduk besar itu bergoyang-goyang serta melambai-lambai hingga menarik perhatian banyak orang.
Saya mencermati kalimat pada spanduk itu lamat-lamat, dalam-dalam dan diam-diam. Saya renungkan berlama-lama dalam hati. Spanduk itu digelar bersamaan dengan berlangsungnya Kongres PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) ke 19 tahun 2003 di Semarang. Saya mencoba memaknai kalimat itu dengan keterbatasan saya di sektor pendidikan. Saya cuma pernah beberapa saat menjadi guru di Sekolah Teknik Negeri 1 Kampung Baru Medan, serta dua periode menjadi Ketua Komisi Penyantun Perguruan pada Yayasan Pendidikan Gereja Methodist Indonesia (PKMI) Dolog Marlawan , Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun. Karena itu, apalah memang yang saya pahami soal pendidikan.
Profesioalisme guru ? Kesejahteraan guru ? Kualitas pendidikan ?, kalimat itu berulang-ulang melintas di pikiran saya. Bagaimana ya profesionalisme guru di daerah yang saya cintai, Simalungun ? Bagaimana pula kesejahteraannya, dan bagaimana pula kualitas pendidikan disini ? Jawaban yang sangat sulit untuk dijawab sebab masing-masing tidak memiliki ukuran. Mengukur sesuatu dengan tidak menggunakan ukuran memang sesuatu yang teramat sulit. Apalagi soal kualitas pendidikan, yang terus terang saya bukan pihak yang memiliki legalitas dan kapasitas untuk mengukurnya.
Karena itulah saya mau memasuki wilayah ini secara umum saja. Saya mau menyikapi isi spanduk ukuran jumbo tadi dengan indikator yang sederhana sekali. Saya ingin mengajak Anda - Pembaca - dengan hal yang teramat sepele namun penuh makna. Karena itu, kalau pun paparan saya berikut kurang mengena atau bahkan terkesan ngawur dari topik, mohonlah saya dimaafkan. Sekali lagi, seperti yang sudah saya katakan, latar belakang pendidikan serta latar belakang pengalaman saya di bidang pendidikan sangat dan amat terbatas.
Sekarang dengan terus terang saya akui, ketika berkomunikasi dengan banyak guru di Simalungun, saya acapkali mengalami kesulitan. Nggak nyambung, istilah remajanya, lari api tu pelak, seperti kata Orang Batak. Selalu dalam sebuah percakapan, lain yang saya utarakan lain pula yang ditanggapi. Lain yang saya denegar diucapkan sang guru, lain pula yang dimaksudkannya. Alhasil, saya menjadi bingung. Guru tadi pun bingung. Akhirnya, kami sama-sama bingung. Menjadi tak jelas lagi siapa yang tak memahami siapa.
Tapi ketika berbicara dengan anyak guru di Semarang yang menghadiri Kongres ke 19 PGRI, apa yang saya alami di Simalungun nyaris tak pernah terjadi. Komunikasi kami berjalan lancar, hidup, dan berlangsung dua arah. Berinteraksi, istilah kerennya. Guru-guru itu ada yang datang dari Sulawesi, Papua, Kalimantan, dan Jawa, apalagi. Sesekali kami tertawa ngakak, lepas dan bebas. Semua bisa tertawa, tak ada yang diam membisu ketika ada sesuatu yang memang pantas dan wajar untuk ditertawakan. Itu terjadi tentu saja karena percakapan kami nyambung dan saling memahami serta saling mengerti apa dan bagaimana.
Kami berbincang secara gado-gado. Tentang pendapatan per kapita penduduk masing-masing daerah asal kami. Tentang PAD (Pendapatan Asli Daerah) kami masing-masing, tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah kami masing-masing. Juga tentang IPM (Indeks Prestasi Manusia) di daerah kami masing-masing, sampai tentang kultur budaya, sosial ekonomi di daerah kami masing-masing. Juga tentang hidup dan kehidupan anak negeri dimana masing-masing tinggal. Dan tentu saja, tentang cinta serta kasih sayang.
Kami juga berbicara tentang sikap dan cara-cara pemimpin daerah kami masing-masing, sampai kepada pilar pembangunan di daerah kami masing-masing. Tentang laju pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, angka pengangguran, sampai daya tampung sekolah dan masalah kekurangan guru di berbagai tempat. Dari perbincangan ittulah saya mendapat tahu, rupanya soal kekuranagan guru bukan saja terjadi di Simalungun. Juga di berbagai bagian daerah lain di tanah air.
Guru-guru dari berbagai daerah yang berkumpul di Semarang itu, ternyata pun memahami apa dan bagaimana Renstra (Rencana Strategis) pemdanya masing-masing. Juga mereka memahami soal pengalokasian APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang kurang berpihak pada kepentingan rakyat dan terkesan lebih diutamakan untuk kepentingan pihak penyelenggara pemerintahan. Pembangunan-pembangunan yang sumber dananya dari APBD tapi tidak bersentuhan langsung dengan anak negeri, juga mereka pahami menjadikan diskusi kami pada suatu malam di Simpang Lima Semarang menjadi hidup dan semarak.
Ketika tiba di peraduan pada hotel murahan di tempat saya menginap, saya mencoba mengkilas balik kisah perjalanan saya bersama sejumlah guru dari Simalungun menuju Semarang dalam rangka mengikuti Kongres PGRI. Saya bersama guru-guru yang tergabung dalam PGRI Simalungun itu menuju Semarang dengan menggunakan bus umum untuk menempuh perjalanan panjang berhari-hari, bermalam-malam.
Di atas jalan beraspal yang dalam kondisi rusak parah tak karu-karuan di sekujur tubuh Sumatera, kami lebih banyak berdiam diri dan membisu entah memikirkan apa saja. Waktu itu saya jadi teringat ucapan Drs Jaminsen Saragih Sekretaris PGRI Simalungun ketika meminta saya agar menggunakan bus saja ke Semarang bersama rombongan PGRI Simalungun yang dipimpin oleh Tumpak Silitonga.
"Supaya Bapak punya waktu dan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan para guru dari Simalungun ini", kata Jaminsen waktu itu penuh harap.
Alasan itulah yang akhirnya saya terima, dan akhirnya pula saya membatalkan rencana saya semula untuk sampai ke Semarang dengan menggunakan pesawat udara. Kalau ikut bersama rombongan guru, semula saya pikir akan bisa berbincang banyak khususnya soal pendidikan di daerah kami. Ekh, sudah tubuh saya lelah dan penat karena bolak-balik terguncang-guncang di atas bus dalam perjalanan panjang, apa yang saya pikirkan jauh dari kenyataan yang saya alami.
Apa boleh buat. Saya menjadi kecewa berat. Hampir tiga hari dan tiga malam perjalanan dengan bus umum ke Semarang, kami justru lebih banyak berdiam diri. Paling-paling kalau pun ngomong, lebih dominan tentang sesuatu yang tidak berkaitan dengan dunia pendidikan dalam arti luas. Sesekali kami tertawa terpingkal-pingkal karena ada di antara kami yang berlelucon bernuansa porno. Tak peduli laki-laki atau perempuan, semua jadi ikut terbahak-bahak serta terkekeh-kekeh semberono. Dan bila kalimat atau kata-kata tak senonoh disampaikan seseorang, semua tertawa lepas dan bebas.
Dengan situasi dan kondisi seperti itu, bisakah dijadikan cerminan profesionalisme guru di Simalungun masih sangat terbatas ? Saya tak ingin menjawabnya. Seperti sudah saya katakan di depan tadi, tidak gampang untuk mengukur tingkat profesionalisme guru. Dan saya, tidak memiliki kapasitas serta legalitas untuk mengukurnya. Yang terang memang, nyaris semua peserta Kongres PGRI di Simalungun asal Kabupaten Simalungun sudah berusia senja jelang pennsiun. Sedang yang saya lihat utusan-utusan PGRI dari segenap penjuru tanah air lainnya umumnya masih muda-muda. Mereka saya nilai cukup energik, potensial dan profesional dalam bidangnya. Saya kagum dan hormat pada mereka.
Soal kesejahteraan guru, barangkali saya salah. Tapi sepanjang yang saya cermati, tak satu pun guru di Simalungun yang dapat hidup layak serta pantas jika mengandalkan gaji dan pendapatannya dari profesinya sebagai guru. Kalaupun di Simalungun ini ada guru yang hidup secara wajar dan pantas, itu karena mereka suami istri memang menjadi guru atau mereka bekerja juga di sektor lain. Bahkan ada seorang guru di Simalungun - Anton Simangunsong - (dulunya guru di SLTP Negeri 1 Tanahjwa, sekarang sudah menjadi Pengawas) justru nyambi kerja sebagai supir oplet kota di Pematangsiantar.
Lha, kalau begini situasinya bagaimana bisa diharapkan guru profesional ? Bagaimana bisa diharapkan guru dapat memberikan perhatiannya yang penuh dan serius pada sektor yang harus ditekuninya ? bagaimana pula menuntut guru agar 24 jam mencurahkan perhatiannya terhadap tugas mulia dan pengabdiannya : mengajar dan mendidik ? Lebih jauh lagi, bagaimana mungkin seorang guru bisa meningkatkan profesionalisenya secara terus menerus sedang dia masih juga dibebani kebutuhan pokok yang amat terbatas ?> Sekadar untuk mempertahankan hidupnya saja umumnya guru masih saja ngos-ngosan .
Kalau sudah begini persoalannya, saya pun tidak tahu lagi siapa yang salah jika mutu dan kualitas pendidikan kita hingga kini kurang menggembirakan. Saya pun jadi tak berani menuntut ini itu kepada guru. Tegasnya, bagaimana menuntut sebuah profesionalisme kepada mereka yang ekonominya lemah bahkan terpuruk ?
Bertahun-tahun saya mengamati kondisi sosial ekonomi guru di beberapa daerah. Saya tahu persis jika di Simalungun dan daerah lainnya banyak sekali guru yang hidup dengan lilitan utang yang bahkan menggurita. Sepanjang hidupnya, sang guru diselimjti utang yang menggunung. Mereka justru tiap bulan tiap tahun harus gali lobang dan tutup lobang. Belum lunas utang ini, mesti buat utang itu (lagi)
Banyak guru yang punya utang di bank ini, lalu punya utang lagi di bank itu. Belum termasuk, utang kepada rentenir yang dilakukan secara mendadak karena terpaksa. Uang panas istilahnya. Ini terpaksa dilakukan misalnya, karena putra-putri guru menderita sakit dan harus diopname di rumah sakit. Ada juga utang terpaksa dilakukan untuk pengadaan barang seperti perabotan rumah dan barang elektronik. Bahkan, untuk pengadaan kendaraan roda dua.
Guru juga, pada umumnya harus berutang untuk keperluan banyak hal. Untuk biaya menikah mereka berutang. Untuk biaya pendidikan putra-putrinya, mereka juga berutang. Untuk mengontrak rumah apalagi membangun rumahnya juga mereka berutang. Bahkan, untuk mengadakan pesta adat seperti saat orang tuanya meninggal dunia, mereka juga haraus berutang. Tragis sekali memang kalau cuma untuk melakukan pesta adat pun guru banyak sekali yang harus berutang terlebih dahulu. Bagaimana mereka bisa profesional dalam situasi sosial ekonomi yang seperti ini ?
Saya pikir, profesionalisme erat sekali kaitannya dengan tingkap pendapatan atau peghasilan. Mau berkualitas, harus belajar. Mau belajar, harus beli buku-buku dengan menggunakan uang. Mau memiliki uang yang cukup, harus berkualitas. Mau berkualitas, harus profesional. Wahai. Persoalannya jadi berputar-putar disitu-disitu saja bagai lingkaran setan. Tak jelas jadinya mau dimulai dari mana.
Bagi pemerintah daerah lainnya di tanah air, ada memang perhatian yang cukup serius untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan profesionalisme gurunya. Di Kabupaten bantul misalnya di DI Yokyakarta, disediakan dana untuk guru yang ingin mengikuti pendidikan S2. Sikap Pemkab Bantul ini saya kira, merupakan pemahamannya yang pas dan jitu dalam upaya nyata untuk meningkatkan profesionalisme gurunya. DPRD setempat pun, memahami persoalannya hingga memberikan persetujuan kepada Pemda Bantul untuk mengalokasikan dana yang berasal dari APBD untuk semua itu. Mereka mengerti dan mau memberi perhatian betapa pentingnya investasi pendidikan untuk menigkatkan SDM yang akhirnya memberi kontribusi yang tidak kecil terhadap pembangunan daerah.
Pemkab Bima di Nusa tenggara barat, juga layak untuk diacungi jempol. Guru disana yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang D II, diberikan uang sebesar Rp 850.000 per tahun sebagai biaya pendidikannya. Sedang guru yang melanjutkan pendidikannya ke S1, diberikan uang Rp 1.650.000 setahun sampai selesai masa pendidikannya.
Begitu juga di Kendal, sebuah kota kecil di Jawa tengah. Pemdanya justru memperlengkapi setiap unit SD dengan satu unit kendaraan roda dua (sepeda motor) untuk menambah mobilitas guru. Lokasi sekolah yang jauh dan tersebar dalam radius sekian kilometer memang membutuhkan sarana yang tepat dan cepat. Dengan pengadaan dan penyediaan sepeda motor bagi setiap unit SD,permasalahan kedinasan pendiddikan akan lebih cepat terpantau untuk segera direspons. Yang begini, artinya mempercepat serta memperlancar hasil kerja.
Perhatian yang cukup menggembirakan terhadap guru, juga ditunjukkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Semua guru disana seperti dituturkan Hentry Hutabarat seorang Pengawas Pendidikan Luar Sekolah, diberi tambahan tunjangan fungsional yang sumber dananya berasal dari APBD DKI Jakarta Raya. Besarnya setiap bulan untuk setiap guru Rp 600.000.
Tambahan penghasilan ini dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Efeknya, berpengaruh pada semangat kerja mereka dalam mendidik siswanya. Guru pun, dapat lebih memusatkan perhatiannya terhadap siswanya tanpa dibebani lagi dengan urusan-urusan lain menyankut uang. Di tengah keterpurukan ekonomi kita seperti sekarang, kompensasi terhadap guru perlu diperhatikan, memang. Jika cuma dengan gaji doang, hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup tingkat primer semata.
Di mata saya, Pemkab Simalungun belum berbuat maksimal terhadap guru dan sektor pendidikan secara umum, yang oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah menjadi tanggung jawabnya. Pendidikan masih dianggap sebagai bagian dari tugas rutinnya saja yang berjalan seperti yangsudah-sudah. Kondisi dan sikap seperti ini kurang membawa pengaruh dan inovasi terhadap pendidikan. Padahal, sejak awal kita sependapat bahwa cuma pendidikan saja yang dapat membawa segalanya ke arah yang lebih baik. Cuma pendidikan yang bisa menjadikan perubahan. Tanpa pendidikan, perubahan tidak pernah bisa dicapai dan diwujudkan.
Tak elok rasanya pada kesempatan ini saya mengkorek-korek apa dan bagaimana yang dilakukan oleh oknum-oknum Pemkab Simalungun ketika mengurusi sektor pendidikan disini. Semua guru di Simalungun tahu apa dan bagaimana sikap dan tidakan para oknum itu, yang akhirnya tidak baik bagi dunia pendidikan secara umum. Baik orang-orang di BKD (Badan Kepegawaian Daerah) , apalagi oknum-oknum di Dinas Pendidikan Simalungun, banyak sekali yang melakukan kecurangan bahkan kejahatan terhadap guru. Dan guru umumnya yang memang tidak berdaya apalagi memang tak memiliki kuasa, tak mampu melakukan perlawanan dalam bentuk bagaimana pun juga. Paling-paling yang terjadi adalah semangat bahkan nyali mereka untuk melaksanakan tugasnya menjadi berkurang bahkan hilang.
Para Anggota DPRD Simalungun pun, cuma sibuk mengurus diri sendiri kelompok atau golongannya. Paling-paling, mereka cuma memberi perhatian untuk dan demi kemenangan partainya dalam pemilu mendatang. Saya pikir, mereka harus mampu mengintropeksi dirinya sudah apa dan bagaimana yang mereka lakukan tyerhadap guru dan sektor pendidikan secara umum. Janganlah kiranya jika nanti ada maunya (untuk keperluan pemilu) mereka mendakati guru dan pura-pura mengatakan bahwa nasib guru perlu dan harus diperhatikan.
Antara profesionalisme dan kesejahteraan guru memang sangat erat kaitannya. Kita tidak bisa menutut profesionalisme semata tanpa peduli soal kesejahteraan mereka. Pasti. Pasti.
______________________________________________________________________________________________
Siantar Estate, 21 Juli 2003
Ramlo R Hutabarat
0813 6170 6993
______________________________________________________________________________________________
0 komentar:
Posting Komentar