1. DASAR HUKUM
PENCATATAN PERKAWINAN
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun
1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik,
Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2. PENCATATAN BAGI
PENGANUT KEPERCAYAAN
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang
jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya
nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak
pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau
melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan
Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan
penganut kepercayaan.
Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan
keputusan-keputusan yang telah ada dan bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah
diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984 yang intinya menyatakan kewajiban bagi
negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan usia minimum untuk kawin dan
untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
3. AKIBAT HUKUM TIDAK
DICATATNYA PERKAWINAN
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama
dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika
belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata
dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar
perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah,
juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42
dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak
ada.
c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas
Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang
tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina
dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby
Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan
kedua pasangan tersebut.
4. SAHNYA PERKAWINAN
Sebuah perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2
ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam)
atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi
yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama
dan kepercayaan masyarakat.
Karena sudah dianggap sah, akibatnya
banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal,
prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan
hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua
dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini
dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
5. PENGESAHAN PERKAWINAN
Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum
untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan
pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3
dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam
pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan
perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum
berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan
setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan
perceraian.
Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang
tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses yang akan dijalanipun akan
memakan waktu yang lama.
6. CATATKAN PERKAWINAN
ANDA
Pencatatan perkawinan amatlah penting,
terutama untuk mendapatkan hak-hak Anda, seperti warisan dan nafkah bagi
anak-anak Anda. Jadi sebaiknya, sebelum Anda memutuskan menjalani sebuah
perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika
masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya
perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh
lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat Anda kesulitan ketika menuntut
hak-hak Anda.
0 komentar:
Posting Komentar